Jumat, 28 Desember 2012

khakot : pencak silat khas Lampung

Kamis, 20 Oktober 2011

Muli Sikep


cerpen : Wayan Sunarta
            Muli sikep yang mengayuh perahu itu kembali muncul dari balik gumpalan kabut. Dia mengayuh perahu sangat tenang, penuh irama, penuh rasa, seakan menghayati gerak kabut yang perlahan tersibak oleh alunan laju perahu.

            Dia terus mengayuh perahu menyibak permukaan danau. Air danau berkecipak bercumbu dengan dayung. Kabut masih setia membuntutinya. Bentangan gemunung penuh sapuan warna kabut seperti lukisan Cina kuno, menghamparkan keindahan yang ganjil di sekeliling danau. Tiga ekor walet melayang-layang di udara, sesekali menyambar permukaan air.
            Namun, permukaan danau tampak kelam. Kabut masih menyelimuti, putih, putih, putih. Kabut seperti resah. Muli sikep yang berambut panjang terurai itu masih hanyut dengan kayuhan perahu. Entah apa yang dipikirkannya? Parasnya yang anggun nampak murung. Sepasang matanya yang sendu mengharukan setiap mata lelaki yang beradu tatap dengannya.
Muli sikep itu telah sampai di tepi danau. Dia menarik perahunya dan menambatkan pada sebatang pokok pohon. Betisnya yang kuning langsat sebagian terbenam dalam air danau yang mulai diterpa cahaya matahari pagi yang mencoba menerobos kabut. Dengan anggun dia meletakkan dayungnya di dalam perahu. Dia berjalan perlahan menuju nuwo yang tak jauh dari pinggir danau.
           
***
Beberapa hari belakangan ini aku suka mengamati muli sikep itu. Aku suka mengamati kehidupan sehari-harinya. Mungkin saja aku suka mengamati bukan karena kehidupan sehari-harinya. Bisa jadi karena parasnya yang ayu, namun seringkali mendung, seakan menyimpan duka yang maha dalam, tak pernah terduga seperti lubuk danau yang kelabu.
            Tiyuh di tepi danau tempat aku tinggal terdiri dari sekitar 66 kepala keluarga. Tidak begitu banyak seperti tiyuh-tiyuh lainnya di lembah pegunungan ini. Nuwo-nuwo mereka sangat sederhana. Dinding nuwo disusun dari kayu yang memang mudah didapat di hutan di sekitar danau. Atapnya juga dari pelepah kayu yang biasa dipakai atap oleh penduduk di daerah pegunungan.
            Aku sudah mulai akrab dengan penduduk di tiyuh. Mungkin mereka merasa senang tiyuhnya dikunjungi dan mau dihuni oleh orang seperti aku, yang kata mereka orang kota. Aku pun sangat memanfaatkan keakraban itu untuk lebih menyelami kehidupan tiyuh yang menarik hatiku. Terlebih lagi perangai muli sikep yang suka mengayuh perahu setiap senja.
            Hampir setiap pagi atau senja aku nongkrong di sebuah warung kopi sederhana di pinggir danau. Ah, alangkah nikmatnya kopi panas yang masih mengepul karena air seduhannya langsung dituang dari panci yang masih berada di tungku menyala. Seluruh tubuh panci itu hitam legam karena jelaga bekas asap pembakaran kayu. Ah, seandainya kopi yang kuminum ini diseduh oleh muli sikep itu.
            Aku menghirup udara pagi dalam-dalam, menyerap suasana tiyuh yang terasa masih murni. Sesekali mataku tertuju pada sebuah nuwo tempat muli sikep itu menghilang. Apa yang sedang dikerjakannya di dalam biliknya sepagi ini? Mengapa dia tidak pergi ke kebun? Mengapa sepagi ini dia sudah mengurung diri dalam biliknya? Apa gerangan yang dipikirkannya? Ah, kenapa aku jadi melamunkan muli sikep itu?
            Kabut masih terus turun menyungkupi tiyuh yang telah membuat aku jatuh cinta ini. Kedatanganku ke tiyuh ini untuk suatu urusan penelitian sosiologi, sekalian menghindar dari keramaian kota, dan berlibur di tiyuh mungil ini. Entah mengapa kecintaanku pada keindahan begitu mencuat dalam jiwaku. Kota yang sumpek begitu menyesakkan jiwaku.
            Muli sikep itu menyembulkan parasnya yang anggun namun muram dari balik pintu nuwo. Aku terus memperhatikannya. Tapi dia sama sekali tidak menoleh ke arah warung ini. Matanya yang indah dihiasi kantong mata yang lunak menatap sendu ke arah danau yang seluruh permukaannya kelabu. Kabut masih betah menari di atas danau. Apakah muli sikep itu punya kenangan khusus dengan danau itu?
            Aku mencoba melambaikan tangan memanggil muli sikep yang kini termangu di ijan nuwo. Namun agaknya dia tidak memperhatikan lambaian tanganku. Matanya yang sayu masih lekat menatap danau yang kelabu. Perilakunya yang ganjil membuat aku semakin penasaran. Aku harus mencari keterangan tentang dirinya. Namun setiap penduduk tiyuh yang aku tanya tentang dirinya selalu saja mengalihkan obrolan. Penduduk seakan sengaja menghindari setiap pembicaraan tentang muli sikep itu.
            Apakah muli sikep itu seorang yang bermasalah dalam tiyuh ini? Melihat parasnya yang anggun apa mungkin dia bermasalah dengan warga tiyuh sehingga harus dikucilkan? Aku menyeruput kopiku dan kembali ke nuwo, sambil terus memikirkan muli sikep yang aneh itu. Aku memang pernah mencoba mendekatinya dan mengajaknya ngobrol, namun dia selalu menjauh, seakan menghindari orang. Hal inilah yang membuat aku heran, kenapa ada muli sikep yang minder dan berusaha menghindar dari keramaian, padahal dia hidup dalam sebuah tiyuh yang penuh tata krama dan memegang teguh tradisi Pi’il Pesanggiri, seperti yang tersurat dalam kitab Kuntara Raja Niti dan buku Handak.
            Senja tiba. Cahayanya begitu muram. Aku berdiri di tepi danau menikmati angin yang memainkan kabut di permukaan danau. Kabut hadir seperti hantu, tidak mengenal waktu, di danau kelabu ini. Muli sikep kembali muncul dari dalam nuwo. Masih dengan rambutnya yang terurai hampir menyentuh betisnya. Dia mulai menarik perahunya ke tengah danau. Dengan tenang dia duduk dalam perahu dan mengayuh ke tengah danau. Perlahan. Sangat perlahan. Penuh irama. Lalu, kabut yang pekat menelan perahu dan tubuhnya.
Aneh, ke mana muli sikep itu pergi? Jelas dia tidak hendak menjala ikan seperti yang sering dilakukan nelayan di tiyuh ini. Saat mengayuh perahu dia tidak membawa peralatan menjala ikan. Muli sikep itu kini telah menghilang dalam kabut senja. Apakah di balik kabut itu ada sebuah tiyuh, atau mungkin kerajaan? Apa mungkin muli sikep itu peri danau yang menyamar, yang datang ke tiyuh ini untuk suatu keperluan? Mencari tumbal?   
            Danau hanya menyisakan kabut. Muli sikep itu telah lenyap dengan perahunya. Aku kembali ke nuwo dengan perasaan yang tak menentu. Muli sikep itu benar-benar telah menyita perhatianku. Senja telah pulang ke sarangnya, di balik kegelapan malam. Nyanyian serangga hutan membuat tiyuh ini penuh diliputi kegaiban.
            Bulan bercahaya penuh, mengambang di atas danau. Samar-samar terdengar talo balak dan kulintang pekhing saling bersahutan. Mungkin sedang ada pesta canggot bakha di sebuah sesat di tiyuh sebelah. Oh…alangkah cerianya pesta itu. Muli mekhanai yang ayu dan cantik-cantik akan larut dalam kegembiraan, berebut perhatian dan berlomba menunjukkan kepiwaian menyusun kata-kata dalam pisaan. Dan tentu para bujang lelakinya akan sibuk menata gerak menunjukkan jurus-jurus gemulai khakot. Tentu tiyuh akan riuh dengan tetabuh talo balak dan kulintang pekhing saat purnama penuh seperti malam ini. Kenapa aku tidak ke tiyuh sebelah saja menghibur diri? Duh…kenapa pikiranku diliputi oleh muli sikep itu?
            Cahaya lampu minyak jarak begitu gigih berjuang menerangi ruang warung. Aku duduk di pojok warung. Asap kopi mengepul dari cangkir tembikar di depanku. Seperti biasa, aku nongkrong bersama lelaki tiyuh, baik yang tua maupun yang muda. Ngobrol ngarol-ngidul. Dari orang tiyuh di warung ini, aku mencoba menggali informasi perihal muli sikep aneh itu. Namun sia-sia. Aku tetap tidak mendapatkan hasil apa-apa. Terasa sekali orang tiyuh sangat enggan atau mungkin tabu membicarakan muli sikep itu.
Dengan pikiran letih dan penasaran terhadap muli sikep itu, aku balik ke nuwo. Lebih baik aku membawa semua kepenatan pikiran ini ke dalam tidur yang nyenyak. Udara dingin diam-diam merayap turun. Apakah muli sikep itu tidak kedinginan di tengah danau berkabut? Dasar perempuan sinting, pikirku.
            "Kemana saja tadi, Nak?" seorang tua yang agaknya aku kenal menyapaku. Pakaian lelaki tua itu sangat lusuh, seperti baru tiba dari perjalanan yang sangat jauh.
            "Tidak ke mana-mana, Pak. Cuma duduk-duduk di pinggir danau," sahutku sesopan mungkin. Sebagai penghuni baru di tiyuh ini aku berusaha menjaga setiap perkataan agar tidak menyinggung perasaan warga.
            "Anak tadi melihat perempuan yang mengayuh perahu itu?"
            "Iya, Pak. Dia mengayuh perahu ke tengah danau dan menghilang di balik kabut. Dia mencari apa ya, kok mengayuh perahu ke tengah danau hingga malam?" aku mencoba menggali perihal muli sikep aneh itu.
            Seketika air muka lelaki tua itu berubah. Bibirnya yang kelabu terlihat gemetar. Nampak sekali ia enggan berkomentar. Namun akhirnya, agak terpaksa, meluncur juga penjelasan dari bibir yang gemetar itu.
"Nak, perempuan itu sesungguhnya peri danau yang menyamar menjadi manusia. Peri danau yang suka mengelabui laki-laki dengan parasnya yang selalu nampak anggun namun muram. Hati-hati, Nak!  Muli sikep itu sangat berbahaya! Jangan sampai Anak terbujuk rayuannya di ajak berperahu ke tengah danau!" bisik bapak tua itu, pelan sekali, takut kalau kata-katanya didengar oleh orang, bahkan mungkin oleh kabut sekali pun.
Aku pun semakin tertarik menggali lebih banyak informasi perihal muli sikep yang setiap senja menghilang di balik kabut itu.
            "Sudah tiga orang pemuda mati tenggelam setelah ngobrol-ngobrol  dengan muli sikep itu," ujar pak tua itu, masih dengan berbisik, ia menoleh kiri-kanan, cemas kalau ada yang menguping bisikannya.
            "Kejadiannya kapan, Pak?"
            "Sebulan lalu, sebelum Anak tinggal di tiyuh ini. Tiga pemuda itu tenggelam ketika mencari ikan pada malam hari. Tiba-tiba saja perahunya bocor di tengah danau dan badai muncul bersama kabut yang pekat. Tiga hari kemudian mayatnya baru ditemukan di seberang danau oleh warga yang kebetulan mencari ikan. Saat ditemukan mengapung, mayatnya hampir membusuk dengan mata yang seperti habis dicungkil."
            "Mengerikan!" ujarku pelan bercampur heran. Aku bergidik mendengar cerita menyeramkan itu.
            "Peri danau itu sedang mencari tumbal untuk dipersembahkan kepada ratu di kerajaannya. Biasanya setiap menjelang bulan purnama."
 "Lalu apa yang dilakukan muli sikep itu di balik kabut, Pak?" tanyaku penasaran.
Lelaki tua itu sejenak terdiam. Dari keningnya yang berkerut, tampak ia sedang mengingat-ingat sesuatu.
            "Menurut nelayan yang tidak sengaja melihatnya, sampai di tengah danau dia akan melepas dayungnya dan menyelam ke dalam danau."
            "Perahunya ditambatkan di mana?"
            "Perahu itu akan menghilang dan muncul kembali dengan sendirinya, menjemputnya pagi hari dan membawanya ke tiyuh."
            "Kenapa setiap dia muncul di pagi hari wajahnya selalu murung?"
            "Rupanya Anak sering mengamati peri danau itu, ya?" selidiknya.
            "Tidak juga, Pak. Saya hanya beberapa kali melihatnya muncul dari balik kabut danau itu?" kataku sedikit berbohong.
            "Anak harus menghindari muli sikep itu. Berbahaya bagi jiwa Anak sendiri," pinta lelaki tua itu. "Kami tidak ingin Anak bernasib seperti tiga pemuda yang mati tenggelam itu."
            Setelah berkata begitu, perlahan lelaki tua itu lenyap ditelan kabut danau yang semakin kelabu. Tiba-tiba saja tubuhku menggigil dan ada bagian dari tubuhku terasa sangat dingin.          Aku terbangun tengah malam karena tetesan air hujan yang menerpa perutku. Ternyata atap nuwo ini ada yang bocor dan belum sempat diperbaiki oleh yang punya. Hujan deras di luar. Air leluasa menerobos atap nuwo yang bocor dan menerpa perutku. Udara sangat dingin. Rupanya karena badan dan pikiran letih, rasa penasaranku terhadap muli sikep itu terbawa sampai ke dalam mimpi. Aneh, siapa lelaki tua yang muncul dalam mimpiku tadi?
 Apa benar muli sikep itu peri danau? Lama aku berpikir, apa sebenarnya yang sedang melanda tiyuh ini. Kenapa pikiranku selalu saja tertuju kepada muli sikep yang mengayuh perahu itu. Kalau benar muli sikep itu peri danau yang jahat, bisa saja selama ini dia berusaha menghipnotisku, agar aku terjebak pada segala bujuk rayunya. Kemudian nasibku akan sama dengan tiga pemuda tiyuh ini: mati tenggelam di dasar danau, menjadi tumbal dewi danau!
Aku mencoba mengamati danau dari balik tingkap nuwo. Namun aku tidak mampu melihat apa-apa. Warna malam semakin kelam dan hujan deras di luar. Aku hanya mendengar sesayup suara air hujan yang beradu dengan permukaan danau. Suara yang ganjil. Apakah muli sikep itu sudah kembali ke daratan? Atau mungkin malam ini dia tidur nyenyak, mungkin dalam dekapan hangat suaminya. Apakah dia bersuami? Pikiranku telah direbut oleh muli sikep itu. Aku harus berusaha membebaskan diri dari pengaruh sihir peri danau itu. Kuputuskan kembali tidur, tapi mataku tidak juga mampu terpejam. Ah, hujan begitu rupa mengganggu tidurku. Ah, bukan hujan, namun mimpi jahanam itu.
 Pagi tiba dengan kokok nyaring ayam hutan. Aku bangun dengan tubuh yang hampir luruh karena letih. Udara pagi begitu bersih dan segar. Kabut tipis perlahan turun dari pegunungan yang mengelilingi tiyuh. Cahaya matahari cerah. Aku mengamati permukaan danau yang diam dan mengandung rahasia itu. Pagi ini aku tidak melihat sosok perahu muncul dari balik kabut. Muli sikep yang mengayuh perahu tadi malam itu, ke manakah dia?
 Siang datang perlahan. Tiyuh agak terang karena kabut telah sirna diterpa cahaya matahari. Dari arah danau kulihat seorang penduduk berlari ke arah tiyuh sambil berteriak-teriak ngeri: "Ada mayat! Mayat!"
Penduduk tiyuh yang sedang asyik bekerja di ladang seketika berhamburan ke arah suara itu. Aku pun bergegas berjalan ke arah orang-orang yang mulai berkerumun, ingin mengetahui apa yang terjadi.
"Ada apa?!"
“Apa yang terjadi?!”
"Ada mayat! Ada mayat mengapung di danau!" ujar orang yang berlari tadi.
Kerumunan penduduk tiyuh kemudian bergerak ke tepi danau tempat mayat itu ditemukan.
"Ya, Tuhan! Ini perempuan yang tinggal sendiri di pinggir tiyuh kita!" seru seseorang.
"Perempuan sinting yang sering mendayung perahu menjelang senja dan datang pagi-pagi itu kan?" sahut yang lain
"Kasihan ya!? Cantik-cantik kok gila!"
“Dia tidak gila! Dia jadi pemurung sejak ditinggal mati suaminya. Sebulan lalu suaminya tenggelam di tengah danau saat mencari ikan malam hari.”
"Rupanya dia ingin menyusul suaminya. Tak tahan hidup sebatang kara."
“Jangan-jangan dia jadi tumbal penguasa danau!”
“Jangan-jangan…”
Tepi danau makin ramai dipenuhi warga yang ingin menyaksikan peristiwa tragis itu. Aku hanya bisa melongo. Sepatah kata pun tak mampu meluncur dari mulutku. Aku merasa kehilangan. Ada sesuatu yang terasa lenyap dari selaput jiwaku. Parasnya yang anggun namun selalu muram. Rambutnya yang panjang tergerai hampir menyentuh betis. Perahu yang dikayuhnya setiap senja tiba. Kabut kelabu yang menelan tubuhnya di tengah danau. Kesepiannya. Kesendiriannya. Oh, perlahan kusadari, aku ternyata mencintai muli sikep itu!***
Denpasar, 2003
Keterangan:
- muli sikep                  : sebutan khas Lampung untuk perempuan cantik/anggun.
- tiyuh                          : kampung
- nuwo                         : rumah
- ijan                            : tangga rumah
- talo balak                  : perangkat alat musik tradisional Lampung
- kulintang pekhing      : perangkat alat musik tradisional Lampung.
- canggot bakha          : pesta adat muda-mudi Lampung
- sesat                          : balai adat
- muli mekhanai          : gadis yang belum menikah
- pisaan                       : pantun khas Lampung
- khakot                       : pencak silat khas Lampung
- Pi’ill Pesanggiri        : falsafah hidup orang Lampung
(Nominasi Krakatau Award 2003 lomba penulisan cerpen nasiona Dewan Kesenian Lampung. Cerpen ini semula berjudul Muli Sikep Danau Ranau.)
Reaksi: 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar