- Kesenian Lokal Provinsi Lampung:
- Tari Sembah
- Pencak Silat (Ngakhak)
- Rebana
- Tari Bedana
- Muli-Mekhanai
- Kesenian asli upacara adat:
- Adat Hibal Serba
- Bambang Aji
- Itar Padang
- Itar Manom
- Sebambangan
Jumat, 28 Desember 2012
pencak silat asli lampung dalam budaya ngakhak
pencak silat lampung,pencaksilat lampung,silat lampung,pencak lampung--seputar topik bela diri lampung pribumi
Minggu, 17 Agustus 2008
Pahlawan Radin Intan II
Radin
Intan II putra dari radin intan kesuma II cucu dari radin inten I yang
semuanya menantang bel anda, beliau dilahirkan tahun 1834 di desa
kuripan marga dantara (sekarang penengaha lampung selatan) merupakan
keturunan darah putih yang mempunyai pertalian erat dengan kerajaan
banten।
Sejak muda radin intan II sangat tidak menyengi kehadiran kolonialis belanda di daerah lampung, radin intan II merupakan ratu sekaligus panglima perang dan ia pun merupakan seorang pemikir yang kuat.
Pada tahun 1850 dalam usia yang ke 16 tahun, radin Intan II dinobatkan sebagai Ratu lampung dan pada tahun 1851 pasukan Belanda dibawah pimipinan Kapten Yuch denga 400 balatentara dan ditambag pasukan lainnya menyerang dan berusah merebut benteng pertahanan Radin Intan II yang berada di Merambung, namum usaha belanda menemui kegagalan mereka dapat dihancurkan oleh pasukan Radin Intan II ini semakin mengobarkan semangat perjuangan Masyarakat Lampung, berkali-kali belanda mengirimkabn pasukan untuk menghancurkan Pasukan Radin Intan II namun tetap mengalami kegagalan.
Hinggga pada tahun1856 belanda mengirimkan sebuah pasukan armada ke lampung yang berkekuatan 9 buah kapal perang,3 buah kapal pengangkut peralatan dan puluhan kapal mayang dan perahu jung, ekspedisi ini dipimpin oleh Kolonel Welson dengan bantuan Mayor Nata, Mayor Van Ostade, Mayor A. W. Weitsel, serangan besar-besaran pasukan belanda ini dihadapi pasukan Radin Intan II dengan gerilya dan siasat perang sehingga membingungkan pasuka belanda. Akhirnya Belanda menjlankan siasat licik dengan memperalat bawahan Radin Intan II, dengan demikian belanda dapat menyergap Radin Intan II pada saat itu beliau sedang bertemu dengan bawahannya , hingga terjadi pertempuran yang sangat dasyat . Radin Intan II mengerahkan segala kemampuanya melawan serangan belanda, namun karena jumlah dan persenjataan yang tidak seiimbang, sianga lampung tersebut gugur pada tanggal 5 Oktober 1856 dalam usia yang ke 22 tahun.
Beberapa pembantu dan penasehat Radin Intan II yang terkenal :
Ratu Mas. Ibu radin intan II, di makamkan di teluk betung, konon kabarnya sekarang Gunung Mas
Haji Wahiya: beliau menyebrang ke lampung dari banten karena tidak mau di jajah belanda, waktu itu banten telah dikuasai oleh belanda.
Wak Maas: juga seorang pejuang dari banten
Singa Branta beliau seorang panglima Perang Radin Intan II
Cincin beliau merupakan salah setu Panglima perang Radin Intan II beliau dimakamkan di pinggir jalan dari Kalianda arah Kuripan
Singa Lampung telah tiada namun semangat juangnya jangan sampai hilang dari dari sang bumi rua jurai, untuk itu mari kita masyarakat lampung bahu membahu meneruskan perjuangan Radin Intan II dengan membangun Negeri yang kita cintai...
Sejak muda radin intan II sangat tidak menyengi kehadiran kolonialis belanda di daerah lampung, radin intan II merupakan ratu sekaligus panglima perang dan ia pun merupakan seorang pemikir yang kuat.
Pada tahun 1850 dalam usia yang ke 16 tahun, radin Intan II dinobatkan sebagai Ratu lampung dan pada tahun 1851 pasukan Belanda dibawah pimipinan Kapten Yuch denga 400 balatentara dan ditambag pasukan lainnya menyerang dan berusah merebut benteng pertahanan Radin Intan II yang berada di Merambung, namum usaha belanda menemui kegagalan mereka dapat dihancurkan oleh pasukan Radin Intan II ini semakin mengobarkan semangat perjuangan Masyarakat Lampung, berkali-kali belanda mengirimkabn pasukan untuk menghancurkan Pasukan Radin Intan II namun tetap mengalami kegagalan.
Hinggga pada tahun1856 belanda mengirimkan sebuah pasukan armada ke lampung yang berkekuatan 9 buah kapal perang,3 buah kapal pengangkut peralatan dan puluhan kapal mayang dan perahu jung, ekspedisi ini dipimpin oleh Kolonel Welson dengan bantuan Mayor Nata, Mayor Van Ostade, Mayor A. W. Weitsel, serangan besar-besaran pasukan belanda ini dihadapi pasukan Radin Intan II dengan gerilya dan siasat perang sehingga membingungkan pasuka belanda. Akhirnya Belanda menjlankan siasat licik dengan memperalat bawahan Radin Intan II, dengan demikian belanda dapat menyergap Radin Intan II pada saat itu beliau sedang bertemu dengan bawahannya , hingga terjadi pertempuran yang sangat dasyat . Radin Intan II mengerahkan segala kemampuanya melawan serangan belanda, namun karena jumlah dan persenjataan yang tidak seiimbang, sianga lampung tersebut gugur pada tanggal 5 Oktober 1856 dalam usia yang ke 22 tahun.
Beberapa pembantu dan penasehat Radin Intan II yang terkenal :
Ratu Mas. Ibu radin intan II, di makamkan di teluk betung, konon kabarnya sekarang Gunung Mas
Haji Wahiya: beliau menyebrang ke lampung dari banten karena tidak mau di jajah belanda, waktu itu banten telah dikuasai oleh belanda.
Wak Maas: juga seorang pejuang dari banten
Singa Branta beliau seorang panglima Perang Radin Intan II
Cincin beliau merupakan salah setu Panglima perang Radin Intan II beliau dimakamkan di pinggir jalan dari Kalianda arah Kuripan
Singa Lampung telah tiada namun semangat juangnya jangan sampai hilang dari dari sang bumi rua jurai, untuk itu mari kita masyarakat lampung bahu membahu meneruskan perjuangan Radin Intan II dengan membangun Negeri yang kita cintai...
13 komentar:
BAYU NOVIANDO: MINANGA KOMERING Asal Kerajaan SRIWIJAYA
BAYU NOVIANDO: MINANGA KOMERING Asal Kerajaan SRIWIJAYA: Minanga komering, Ogan komering ulu timur. di perkirakan Asal Kerajaan SRIWIJAYA Nama Minanga ( Komering Ulu Sumatera Selatan ) se...
pencak silat asli suku komering,pencak silat pribumi komering_-suku komering adalah salah satu sub suku dari etnis lampung
Jumat, 30 November 2012
TRADISI PENCAK SILAT ADAT PERNIKAHAN KOMERING BETUNG DI DESA PETANGGAN
berikut atraksi pencak silat yang dipertontonkan pada khalayak ramai pada saat upacara pernikahan ADAT KOMERING BETUNG
Tampat kedua pesilat yang merupakan perwakilan dari pihak besan sedang berusaha mengalahkan pesilat tuan rumah agar dapat menyunting mempelai wanita
Tradisi ini adalah bagian dari tradisi ADAT PERNIKAHAN suku KOMERING yang terjadi di Desa PETANGGAN, Kecamatan BELITANG MULYA, KABUPATEN Ogan Komering Ulu Timur. Dimana di desa tersebut terdapat banyak masyarakatnya yang merupakan keturunan Suku KOMERING, Khususnya KOMERING BETUNG.
ADAT PUSAKO KITA JAGA......
Tampat kedua pesilat yang merupakan perwakilan dari pihak besan sedang berusaha mengalahkan pesilat tuan rumah agar dapat menyunting mempelai wanita
Tradisi ini adalah bagian dari tradisi ADAT PERNIKAHAN suku KOMERING yang terjadi di Desa PETANGGAN, Kecamatan BELITANG MULYA, KABUPATEN Ogan Komering Ulu Timur. Dimana di desa tersebut terdapat banyak masyarakatnya yang merupakan keturunan Suku KOMERING, Khususnya KOMERING BETUNG.
ADAT PUSAKO KITA JAGA......
Lampung Culture Center: Seni Budaya Lampung Nyaris Punah
Lampung Culture Center: Seni Budaya Lampung Nyaris Punah: Bandar Lampung-MIOL Guna melestarikan kebudayaan Lampung, khususnya Kabupaten Lampung Barat (Lambar) terutama dalam seni bela diri, se...
silit/silEk/pincak khakot.---martiat art nya lampung pribumi
December 5, 2010
‘Canggot Bagha’, Menyemai Cinta di Bulan Purnama
DEWAN Kesenian Lampung (DKL) dalam helat akbar Lampung Art Festival
(LAF) secara khusus menghadirkan canggot bagha di panggung Teater
Tertutup Taman Budaya Lampung (TBL), akhir November 2010 lalu.
Pesta canggot bagha—dalam bahasa Lampungnya gawi ini—dulu digelar pada saat bulan purnama biasanya seusai musim panen. Kini canggot bagha digelar secara giliran atau arisan di kampung-kampung komunitas Lampung Pubian.
Muli dan meghanai (bujang gadis) Lampung Pubian tak diperbolehkan bertemu sesuka hatinya. Ada media bersosialisasi buat mereka, ajang itu bernama canggot bagha.
Di ajang inilah para bujang dan gadis dapat bergaul bahkan untuk saling mencari jodoh. Namun mereka tetap dalam pengawasan orang tua dan koridor tetua-tetua adat.
Prosesi canggot bagha tidak mesti terkait dengan prosesi adat tertentu. Canggot bagha yang juga disebut canggot bulan purnama ini merupakan salah satu budaya tradisional Lampung yang hingga saat ini masih hidup dan berkembang di komunitasnya—khususnya di kampung-kampung dalam wilayah-wilayah masyarakat Lampung Pubian.
Canggot ini pada awal perjalanannya dilakukan oleh bujang gadis setiap bulan purnama (bagha = purnama). Atau biasanya digelar sesuai panen raya di pekon-pekon atau kampung-kampung komunitas Lampung Pubian Telu Suku.
Canggot ini bisa di lakukan setiap bulan sesuai dengan permintaan bujang gadis. Hanya saja, seperti canggot yang lain, keterlibatan lembaga adat (musyawarah adat) merupakan bagian yang tak dapat ditinggalkan.
Sekalipun tidak terkait langsung dengan kegiatan prosesi adat, tetapi pelaksanaan canggot bagha harus tetap seizin dan sepengetahuan lembaga adat. Tanpa keterlibatannya tak mungkin acara dapat berjalan.
Meskipun acara canggot bagha diperuntukkan muli meghanai, semua aturan berlaku dalam masyarakat dapat tetap dijunjung tinggi. Selain itu, kita jangan melihat dalam masyarakat adat Lampung dalam hal ini Lampung Pubian telah melembagakan pergaulan (pertemuan bujang-gadis dalam komunitasnya).
Bujang-gadis tidak diperkenankan bertemu sesuka hatinya. Ada media sosilisasi, tetapi bukan berupa pergaulan bebas, dalam pelaksanaannya tetap dalam pengawasan orang tua dan tetua adat.
Dalam acara canggot ini banyak pelajaran yang dapat dipetik para bujang-gadis karena para peserta selain harus menggunakan atribut pakaian adat juga antara lain; harus mempunyai kepiawaian dan mahir menari, sastra lisan berupa pantun atau yang lainnya, dan pencak khakot. Karena dalam materi acara yang digelar dalam canggot bagha ada kompetisi kepiawaian menari, pantun, dan silat khakot.
Menurut Hasan gelar Tuan Raja dan Safei Gelar Kyai Ratu Ulama, tokoh adat, canggot zaman dulu hanya dilakukan pada setiap bulan purnama sesuai dengan peraturan adat masyarakat Lampung yang termuat dalam Buku Kuntara Raja Niti dan Buku Handak kini bisa dilakukan sesuai kesepakatan bersama.
Namun, menurut Husni Thamrin Gelar Suntan Purnama, seniman Lampung tradisi yang juga presenter acara Ragom Budaya Lampung di RRI Tanjungkarang dan acara Bebalos Pantun TVRI SPK Lampung, kini aktualisasi penyelenggaraan canggot bagha dapat dilakukan tak terbatas pada bulan purnama saja. Bahkan kini canggot bagha fungsinya juga mulai bergeser, tak hanya menjadi media pertemuan bujang gadis, tetapi juga untuk ajang dialog dan menyosialisasikan program-program pemerintah.
Bahkan kini masyarakat pubian menyelenggarakan kegiatan canggot bagha ini dengan sistem arisan. "Kini setiap tiga bulan sekali acara canggot bagha yang kian langka ini bisa disaksikan secara bergilir dari tiyuh ke tiyuh (dari kampung ke kampung) terutama dalam komunitas Lampung Pubian," kata anggota Komite Seni Tradisi Dewan Kesenian Lampung.
Christian Heru Cahyo Saputro, Penghayat kearifan lokal dan peneliti Folklor pada Sekelek Institute Publishing House, tinggal di Lampung.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 5 Desember 2010
Pesta canggot bagha—dalam bahasa Lampungnya gawi ini—dulu digelar pada saat bulan purnama biasanya seusai musim panen. Kini canggot bagha digelar secara giliran atau arisan di kampung-kampung komunitas Lampung Pubian.
Muli dan meghanai (bujang gadis) Lampung Pubian tak diperbolehkan bertemu sesuka hatinya. Ada media bersosialisasi buat mereka, ajang itu bernama canggot bagha.
Di ajang inilah para bujang dan gadis dapat bergaul bahkan untuk saling mencari jodoh. Namun mereka tetap dalam pengawasan orang tua dan koridor tetua-tetua adat.
Prosesi canggot bagha tidak mesti terkait dengan prosesi adat tertentu. Canggot bagha yang juga disebut canggot bulan purnama ini merupakan salah satu budaya tradisional Lampung yang hingga saat ini masih hidup dan berkembang di komunitasnya—khususnya di kampung-kampung dalam wilayah-wilayah masyarakat Lampung Pubian.
Canggot ini pada awal perjalanannya dilakukan oleh bujang gadis setiap bulan purnama (bagha = purnama). Atau biasanya digelar sesuai panen raya di pekon-pekon atau kampung-kampung komunitas Lampung Pubian Telu Suku.
Canggot ini bisa di lakukan setiap bulan sesuai dengan permintaan bujang gadis. Hanya saja, seperti canggot yang lain, keterlibatan lembaga adat (musyawarah adat) merupakan bagian yang tak dapat ditinggalkan.
Sekalipun tidak terkait langsung dengan kegiatan prosesi adat, tetapi pelaksanaan canggot bagha harus tetap seizin dan sepengetahuan lembaga adat. Tanpa keterlibatannya tak mungkin acara dapat berjalan.
Meskipun acara canggot bagha diperuntukkan muli meghanai, semua aturan berlaku dalam masyarakat dapat tetap dijunjung tinggi. Selain itu, kita jangan melihat dalam masyarakat adat Lampung dalam hal ini Lampung Pubian telah melembagakan pergaulan (pertemuan bujang-gadis dalam komunitasnya).
Bujang-gadis tidak diperkenankan bertemu sesuka hatinya. Ada media sosilisasi, tetapi bukan berupa pergaulan bebas, dalam pelaksanaannya tetap dalam pengawasan orang tua dan tetua adat.
Dalam acara canggot ini banyak pelajaran yang dapat dipetik para bujang-gadis karena para peserta selain harus menggunakan atribut pakaian adat juga antara lain; harus mempunyai kepiawaian dan mahir menari, sastra lisan berupa pantun atau yang lainnya, dan pencak khakot. Karena dalam materi acara yang digelar dalam canggot bagha ada kompetisi kepiawaian menari, pantun, dan silat khakot.
Menurut Hasan gelar Tuan Raja dan Safei Gelar Kyai Ratu Ulama, tokoh adat, canggot zaman dulu hanya dilakukan pada setiap bulan purnama sesuai dengan peraturan adat masyarakat Lampung yang termuat dalam Buku Kuntara Raja Niti dan Buku Handak kini bisa dilakukan sesuai kesepakatan bersama.
Namun, menurut Husni Thamrin Gelar Suntan Purnama, seniman Lampung tradisi yang juga presenter acara Ragom Budaya Lampung di RRI Tanjungkarang dan acara Bebalos Pantun TVRI SPK Lampung, kini aktualisasi penyelenggaraan canggot bagha dapat dilakukan tak terbatas pada bulan purnama saja. Bahkan kini canggot bagha fungsinya juga mulai bergeser, tak hanya menjadi media pertemuan bujang gadis, tetapi juga untuk ajang dialog dan menyosialisasikan program-program pemerintah.
Bahkan kini masyarakat pubian menyelenggarakan kegiatan canggot bagha ini dengan sistem arisan. "Kini setiap tiga bulan sekali acara canggot bagha yang kian langka ini bisa disaksikan secara bergilir dari tiyuh ke tiyuh (dari kampung ke kampung) terutama dalam komunitas Lampung Pubian," kata anggota Komite Seni Tradisi Dewan Kesenian Lampung.
Christian Heru Cahyo Saputro, Penghayat kearifan lokal dan peneliti Folklor pada Sekelek Institute Publishing House, tinggal di Lampung.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 5 Desember 2010
ulun lampung: ‘Canggot Bagha’, Menyemai Cinta di Bulan Purnama
ulun lampung: ‘Canggot Bagha’, Menyemai Cinta di Bulan Purnama: DEWAN Kesenian Lampung (DKL) dalam helat akbar Lampung Art Festival (LAF) secara khusus menghadirkan canggot bagha di panggung Teater Tertut...
ulun lampung: [Perjalanan] Mengarak Pengantin dengan Gajah
ulun lampung: [Perjalanan] Mengarak Pengantin dengan Gajah: PROSESI pernikahan menjadi momen terbaik untuk memelihara adat dan mengekspresikan keinginan. Pasangan Maya dan Arvand memadukan prosesi ada...
silik/silEk lampung_-bela diri pribumi lampung
Pesta Topeng di Lambar, Pengobat Rindu Masa Muda
Tribun Lampung - Rabu, 22 Agustus 2012 21:45 WIB
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID/SULIS SETIA
pesta topeng lambar
Berita Terkait
- AKBP Tarigan Minta Jajaran Kepolisian Bisa Persuasif
- PLN Diminta Prioritaskan Penerangan di Lima Kecamatan
- Lima Anggota Polres Lambar Ditunda Kenaikan Pangkat
- Polres Lambar Pecat dengan Tidak Hormat Bripda Wahidin
- Penerbangan Perintis Bandara Seray Mulai Operasi Awal…
- Byar pet di Lambar Berbuntut Keluhan Warga
- 71 Persen Pasangan Usia Subur Ber-KB di Lambar
- Peserta KB Baru di Lambar Terbanyak Menggunakan Suntik
- Way Besai Meluap Bikin Sawah Terendam
- Sawah di Daerah Pesisir Masih Terendam Banjir
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID-Banyak
cara dilakukan umat Muslim dalam merayakan hari kemenangan atau
Lebaran. Itu sebagai wujud syukur setelah satu bulan penuh menjalankan
ibadah puasa selama Ramadan. Di Lampung Barat (Lambar), masyarakat
setempat merayakan Lebaran dengan Pesta Sekuraan atau sakuraan (topeng).
Cuaca nampak terik, Rabu (22/8/2012) siang. Namun, sepertinya tak menyurutkan niat ribuan warga untuk berkumpul dan memadati halaman Gedung Dalom (rumah adat) sampai di pinggiran jalan tak jauh dari gedung yang berada di Pekon Balak, Kecamatan Batu Brak. Masyarakat mulai dari anak-anak sampai usia dewasa nampak antusias mengenakan topeng yang menjadi ciri khas pesta sekuraan.
Selain akan melakukan atraksi panjat pinang yang memang sudah disiapkan oleh masyarakat setempat, beberapa masyarakat yang mengenakan topeng ini juga melakukan aksi silik atau sile (pencak silat) di pelataran Gedung Dalom.
Menurut Asli Nursiwan, warga Lampung Barat, Pesta Sekuraan merupakan ajang untuk silaturahmi atau halal bihalal antar sesama warga. Lebih dari itu, dijadikan momen berkumpul dengan sanak famili.
"Biasanya dilakukan mulai tanggal dua syawal (Lebaran kedua), dan berlangsung selama kurang lebih satu minggu ke depan. Di beberapa desa atau pekon secara bergantian menggelar pesta walaupun tidak jarang dalam satu hari ada dua desa atau lebih secara bersamaan mengadakan sekuraan," tuturnya kepada Tribun Lampung.
Sebagai warga asli, bapak 55 tahun ini sangat menanti kehadiran Pesta Sekuraan. Menurutnya, itu bisa mengobati rindu akan masa muda dahulu, saat dirinya juga turut serta melestarikan budaya satu ini. Kini, sambung dia, meskipun hanya sebagai penonton, bukan berarti dia abai terhadap warisan budaya nenek moyang.
Dalam sebuah pesta sekura, kata suami Yuminda ini, ada dua jenis sekura yakni sekura kamak dan sekura betik. Keduanya memiliki pengertian yang berbeda.
Diterangkannya, sekura kamak topengnya lebih unik dan menggunakan peralatan seadanya. "Kebanyakan sekura ini pakaiannya agak kotor karena memang sekura jenis inilah yang akan melakukan panjat pinang," jelas dia.
Sementara untuk sekura betik adalah sekura yang pakaian dan peralatan topengnya lebih bersih dan rapi. Biasanya pakaiannya berupa sarung. Menurutnya, pada September tahun lalu, Pemerintah Kabupaten Lambar menggelar festival 1001 Wajah Topeng Sakura dalam memeriahkan rangkaian HUT ke-20 Lambar. Dia pun turut menjadi penonton di sana.
"Ya, yang saya inginkan budaya kita ini tetap terus dilestarikan agar tidak punah. Karena memang banyak generasi muda yang sulit untuk diajak melestarikan kebudayaannya sendiri," ucapnya.
Pantauan Tribun, Pesta Sekuraan pada 20 Agustus lalu dimulai di Kenali (Kecamatan Belalau) dan Kembahang, esoknya di Kotabesi (Batubrak) dan Pekon Gunung Sugih (Balik Bukit), kemudian berlanjut di Pekon Balak (Batu Brak).
Klimaks acara sekuraan pada 26 Agustus mendatang sekaligus untuk memperingati HUT ke-21 Lambar di lapangan pemkab setempat, dengan mengusung tema "Pesta Topeng Sekura 2001 Wajah".(sulis setia markhamah)
Cuaca nampak terik, Rabu (22/8/2012) siang. Namun, sepertinya tak menyurutkan niat ribuan warga untuk berkumpul dan memadati halaman Gedung Dalom (rumah adat) sampai di pinggiran jalan tak jauh dari gedung yang berada di Pekon Balak, Kecamatan Batu Brak. Masyarakat mulai dari anak-anak sampai usia dewasa nampak antusias mengenakan topeng yang menjadi ciri khas pesta sekuraan.
Selain akan melakukan atraksi panjat pinang yang memang sudah disiapkan oleh masyarakat setempat, beberapa masyarakat yang mengenakan topeng ini juga melakukan aksi silik atau sile (pencak silat) di pelataran Gedung Dalom.
Menurut Asli Nursiwan, warga Lampung Barat, Pesta Sekuraan merupakan ajang untuk silaturahmi atau halal bihalal antar sesama warga. Lebih dari itu, dijadikan momen berkumpul dengan sanak famili.
"Biasanya dilakukan mulai tanggal dua syawal (Lebaran kedua), dan berlangsung selama kurang lebih satu minggu ke depan. Di beberapa desa atau pekon secara bergantian menggelar pesta walaupun tidak jarang dalam satu hari ada dua desa atau lebih secara bersamaan mengadakan sekuraan," tuturnya kepada Tribun Lampung.
Sebagai warga asli, bapak 55 tahun ini sangat menanti kehadiran Pesta Sekuraan. Menurutnya, itu bisa mengobati rindu akan masa muda dahulu, saat dirinya juga turut serta melestarikan budaya satu ini. Kini, sambung dia, meskipun hanya sebagai penonton, bukan berarti dia abai terhadap warisan budaya nenek moyang.
Dalam sebuah pesta sekura, kata suami Yuminda ini, ada dua jenis sekura yakni sekura kamak dan sekura betik. Keduanya memiliki pengertian yang berbeda.
Diterangkannya, sekura kamak topengnya lebih unik dan menggunakan peralatan seadanya. "Kebanyakan sekura ini pakaiannya agak kotor karena memang sekura jenis inilah yang akan melakukan panjat pinang," jelas dia.
Sementara untuk sekura betik adalah sekura yang pakaian dan peralatan topengnya lebih bersih dan rapi. Biasanya pakaiannya berupa sarung. Menurutnya, pada September tahun lalu, Pemerintah Kabupaten Lambar menggelar festival 1001 Wajah Topeng Sakura dalam memeriahkan rangkaian HUT ke-20 Lambar. Dia pun turut menjadi penonton di sana.
"Ya, yang saya inginkan budaya kita ini tetap terus dilestarikan agar tidak punah. Karena memang banyak generasi muda yang sulit untuk diajak melestarikan kebudayaannya sendiri," ucapnya.
Pantauan Tribun, Pesta Sekuraan pada 20 Agustus lalu dimulai di Kenali (Kecamatan Belalau) dan Kembahang, esoknya di Kotabesi (Batubrak) dan Pekon Gunung Sugih (Balik Bukit), kemudian berlanjut di Pekon Balak (Batu Brak).
Klimaks acara sekuraan pada 26 Agustus mendatang sekaligus untuk memperingati HUT ke-21 Lambar di lapangan pemkab setempat, dengan mengusung tema "Pesta Topeng Sekura 2001 Wajah".(sulis setia markhamah)
Editor : taryono
Akses lampung.tribunnews.com lewat perangkat mobile anda melalui alamat lampung.tribunnews.com/m
pencak silat khas suku lampung
Activate Facebook Timeline App and Get Experience with Your Friends. |
RAGAM
Sapa
Arak - arakan Gajah Lambat : Upacara Menuju Dewasa
Baca Juga:
Tags:
sapa tradisi adat ritual lampung akhir balik masa kanak-kanakBerita HOT:
- Drama Seri IndonesiaInsya Allah Ada Jalan
- Sambut Tahun Baru 2013Jakarta Night Festival
- Bencana Banjir Ganggu Aktivitas Warga
- Masyarakat Diminta TenangPersediaan BBM Cukup
- Masih Dalam PengkajianPenerapan Ganjil - Genap
indosiar.com, Lampung - Di Lampung, ada arak-arakan lamban balap maju yang merupakan tradisi dan adat Lampung Pubian untuk melepas masa kanak-kanak. Kesenian jajak, rudat dan pencak silat serta iringan gajah membuat ritual adat tersebut sarat budaya. Prosesi adat yang biasa digelar bagi calon penyimbang marga ini, membawa pesan moral akan sulitnya masa akil baliq serta menjadi tauladan bagi kearifan sang calon pemimpin marga.
Suasana suka cita mewarnai ritual adat ini, kesenian jajak, rudat membuat suasana menjadi semarak. Kesenian jajak yang menampilkan pencak silat khas suku Lampung Pubian berfungsi untuk membuka jalan bagi arak-arakan. Sementara kesenian rudat digelar sebagai perlambang lepasnya masa kanak - kanak sekaligus melambangkan runtuhnya kemurnian hati.
Sang anak yang akan melepas masanya, kemudian dinaikkan ke singgah sana diatas punggung gajah. Ritual adat yang dikenal dengan sebutan arak - arakan lambang balak maju ini, biasa digelar oleh masyarakat adat Lampung Pubian untuk menyambut datangnya masa akil baliq bagi calon pewaris penyimbang marga atau pangeran.
Calon penyimbang marga ini diarak dari lamban rumah lama menuju rumah baru atau lebih dikenal dengan lambang empai. Gawe adat Lampung Pubian ini sudah jarang sekali ditemui masa sekarang. Ritual adat tersebut membawa pesan moral akan beratnya tubuh
tugas kepada calon penyimbang marga atau calon pemimpin ketika mereka dewasa kelak.
Selain harus memiliki kekuatan fisik yang dilambangkan dengan gajah, calon penyimbang marga harus memiliki kearifan dan kebijaksanaan yang nantinya akan membawa masyarakat marga adat menuju kemakmuran. (Arif Susanto/Dv/Ijs)
pincak khakot---lampung etnhnic martial art
Semua · Sikam Cinta Bahasa Lappung
Firmansyah Syah
wagris ke bahaso lampung pakaei anak apeu jimoh sawaei. salam..firman.p engiran syah bandar ratau.
wagris ke bahaso lampung pakaei anak apeu jimoh sawaei. salam..firman.p
Firmansyah Syah
pah gaham jama jama melestari kon budaya adat jimo lampung husus kaban minak muaghaei si wat di laban/ tiyuh.pekon2 nih.
pah gaham jama jama melestari kon budaya adat jimo lampung husus kaban minak muaghaei si wat di laban/ tiyuh.pekon2 nih.
Anre Tiando
Minak muari sunyini payu ram jma2 ngandan qo adat n bhs ram lmpung. Seno luhot ne tamong kajong ram tumbai.
Minak muari sunyini payu ram jma2 ngandan qo adat n bhs ram lmpung. Seno luhot ne tamong kajong ram tumbai.
Adhie Kahud
Seandanan jejama
Kham lestari ko adat budaya lampung
Pincak khakot adat lampung sebatin sai agung
manjau maju, muli mekhanai ngekuk
Ki mk kham sapa lgi lestakhi ko adat budaya lampung
Seandanan jejama
Kham lestari ko adat budaya lampung
Pincak khakot adat lampung sebatin sai agung
manjau maju, muli mekhanai ngekuk
Ki mk kham sapa lgi lestakhi ko adat budaya lampung
pincak khakot(pencak silat asli etnis/suku lampung).martial art of lampung ethnic
Adhie Kahudmengirim keSikam Cinta Bahasa Lappung
Seandanan jejama
Kham lestari ko adat budaya lampung
Pincak khakot adat lampung sebatin sai agung
manjau maju, muli mekhanai ngekuk
Ki mk kham sapa lgi lestakhi ko adat budaya lampung
Kham lestari ko adat budaya lampung
Pincak khakot adat lampung sebatin sai agung
manjau maju, muli mekhanai ngekuk
Ki mk kham sapa lgi lestakhi ko adat budaya lampung
pincak khakot(pincak silek/silik etnis/suku lampung)
Rabu, 18 Agustus 2010
Sekelumit Adat Istiadat Lampung
Secara umum masyarakat Lampung dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. masyarakat adat peminggir/pesisir, mendiami pantai. Contoh: Krui, Ranau.
2. masyarakat adat pepadun, mendiami daerah pedalaman. Contoh: Pubiyan.
Dari dua masyarakat ini terbagi menjadi 84 marga.
Garis penarikan keturunan disebut petrilineal (bedasarkan ayah).
Prinsip-prinsip masyarakat Lampung
1. Piil Pesenggikhi
Harga diri, perilaku, sikap. Dalam hal ini seseorang dapat melupakan nyawanya.
2. Sakai Sambayan
Bergotong royong/ tolong menolong.
3. Nemui Nyimah
Ramah tamah/bermurah hati. Terbagi dua kata:
- Nemui: berbuka hati untuk menerima tamu
- Nyimah: suka memberi dengan ikhlas
4. Nengah Nyappukh
Tata cara pergaulan/ bersosialisasi
5. Bejuluk Beadek
Bergelar atau panggilan terhadap seseorang setelah melalui upacara adat tertentu yang telah diwariskan sejak dulu (Tittei Gemattei).
Perlengkapan
1. Payung putih: dipakai oleh golongan adat, pemuka marga
2. Payung kuning: dipakai oleh golongan tiyuh
3. Payung merah: dipakai oleh golongan suku
Profil Lampung
Lampung berdiri pada tanggal 15 Maret 1964, dengan ditetapkannya PP No. 3 Tahun 1964 yang kemudian menjadi UU No 14 tahun 1964. sebelum berdiri sendiri Lampung bergabung sengan Sumatera Selatan yang mempunyai luas 35.396.500 km/persegi. Jumlah penduduk bedasarkan sensus penduduk tahun 2002, berjumlah 8.000.000.
Sang Bumi Ruwa Jurai
-Sang Bumi: rumah tangga yang agung yang berbilik-bilik
-Ruwa jurai: dua unsur golongan masyarakat yang berdiam di wilayah Lampung yaitu penduduk asli dan penduduk pendatang.
Secara umum: rumah tangga yang angung yang berbilik-bilik yang didiami oleh dua unsur golongan masyarakat, yaitu masyarakat asli dan masyarakat pendatang.
Macam-macam Sastra Lampung:
1. Sagata
2. Bubandung
3. Hahiwang
4. Wawancang
5. Wayak
Gubernur-gubernur Lampung:
1. Koesno Danu Royo (1964-1966)
2. H. Zainal Pagar Alam (1966-1972)
3. R. Sutiyoso (1972-1978)
4. Yasir Hadi Broto (1978-1988)
5. Pujono Pranyoto (1988-1998)
6. Drs. Oemarsono (1998-2002)
7. Sahrudin Z.P (2004 sampai sekarang)
Sebelum Sahrudin menjabat, selama dua tahun Lampung tidak mempunyai Gubernur, tapi mempunyai Gubernur tidak resmi yaitu Alzir.
Macam-macam Tarian Lampung.
1. Sembah (Sigekh Pengunten)
2. Bedana (Tarian Muda-mudi)
3. Mapak ( Tarian untuk menyambut pengantin)
4. Ngarak (Tarian untuk mengiring pengantin)
5. Cangget
6. Melinting
7. Pencak Khakot (Khusus untuk laki-laki)
pincak khakot:PASKIBRA SMAN 1 Seputih Agung: Sekelumit Adat Istiadat Lampung
PASKIBRA SMAN 1 Seputih Agung: Sekelumit Adat Istiadat Lampung: Secara umum masyarakat Lampung dibedakan menjadi dua, yaitu: 1. masyarakat adat peminggir/pesisir, mendiami pantai. Contoh: Krui, Ranau. ...
khakot : pencak silat khas Lampung
Kamis, 20 Oktober 2011
Muli Sikep
cerpen : Wayan Sunarta
Muli
sikep yang mengayuh perahu itu kembali muncul dari balik gumpalan kabut.
Dia mengayuh perahu sangat tenang, penuh irama, penuh rasa, seakan menghayati
gerak kabut yang perlahan tersibak oleh alunan laju perahu.
Dia terus mengayuh perahu menyibak permukaan danau. Air danau berkecipak bercumbu dengan dayung. Kabut masih setia membuntutinya. Bentangan gemunung penuh sapuan warna kabut seperti lukisan Cina kuno, menghamparkan keindahan yang ganjil di sekeliling danau. Tiga ekor walet melayang-layang di udara, sesekali menyambar permukaan air.
Dia terus mengayuh perahu menyibak permukaan danau. Air danau berkecipak bercumbu dengan dayung. Kabut masih setia membuntutinya. Bentangan gemunung penuh sapuan warna kabut seperti lukisan Cina kuno, menghamparkan keindahan yang ganjil di sekeliling danau. Tiga ekor walet melayang-layang di udara, sesekali menyambar permukaan air.
Namun, permukaan danau tampak kelam. Kabut masih
menyelimuti, putih, putih, putih. Kabut seperti resah. Muli sikep yang
berambut panjang terurai itu masih hanyut dengan kayuhan perahu. Entah apa yang
dipikirkannya? Parasnya yang anggun nampak murung. Sepasang matanya yang sendu
mengharukan setiap mata lelaki yang beradu tatap dengannya.
Muli sikep
itu telah sampai di tepi danau. Dia menarik perahunya dan menambatkan pada
sebatang pokok pohon. Betisnya yang kuning langsat sebagian terbenam dalam air
danau yang mulai diterpa cahaya matahari pagi yang mencoba menerobos kabut.
Dengan anggun dia meletakkan dayungnya di dalam perahu. Dia berjalan perlahan
menuju nuwo yang tak jauh dari pinggir danau.
***
Beberapa hari belakangan
ini aku suka mengamati muli sikep itu. Aku suka mengamati kehidupan
sehari-harinya. Mungkin saja aku suka mengamati bukan karena kehidupan
sehari-harinya. Bisa jadi karena parasnya yang ayu, namun seringkali mendung,
seakan menyimpan duka yang maha dalam, tak pernah terduga seperti lubuk danau
yang kelabu.
Tiyuh
di tepi danau tempat aku tinggal terdiri dari sekitar 66 kepala keluarga. Tidak
begitu banyak seperti tiyuh-tiyuh lainnya di lembah pegunungan
ini. Nuwo-nuwo mereka sangat sederhana. Dinding nuwo
disusun dari kayu yang memang mudah didapat di hutan di sekitar danau. Atapnya
juga dari pelepah kayu yang biasa dipakai atap oleh penduduk di daerah
pegunungan.
Aku
sudah mulai akrab dengan penduduk di tiyuh. Mungkin mereka merasa senang
tiyuhnya dikunjungi dan mau dihuni oleh orang seperti aku, yang kata
mereka orang kota. Aku pun sangat memanfaatkan keakraban itu untuk lebih
menyelami kehidupan tiyuh yang menarik hatiku. Terlebih lagi perangai muli
sikep yang suka mengayuh perahu setiap senja.
Hampir
setiap pagi atau senja aku nongkrong di sebuah warung kopi sederhana di pinggir
danau. Ah, alangkah nikmatnya kopi panas yang masih mengepul karena air
seduhannya langsung dituang dari panci yang masih berada di tungku menyala.
Seluruh tubuh panci itu hitam legam karena jelaga bekas asap pembakaran kayu.
Ah, seandainya kopi yang kuminum ini diseduh oleh muli sikep itu.
Aku
menghirup udara pagi dalam-dalam, menyerap suasana tiyuh yang terasa
masih murni. Sesekali mataku tertuju pada sebuah nuwo tempat muli
sikep itu menghilang. Apa yang sedang dikerjakannya di dalam biliknya
sepagi ini? Mengapa dia tidak pergi ke kebun? Mengapa sepagi ini dia sudah
mengurung diri dalam biliknya? Apa gerangan yang dipikirkannya? Ah, kenapa aku
jadi melamunkan muli sikep itu?
Kabut
masih terus turun menyungkupi tiyuh yang telah membuat aku jatuh cinta
ini. Kedatanganku ke tiyuh ini untuk suatu urusan penelitian sosiologi,
sekalian menghindar dari keramaian kota, dan berlibur di tiyuh mungil
ini. Entah mengapa kecintaanku pada keindahan begitu mencuat dalam jiwaku. Kota
yang sumpek begitu menyesakkan jiwaku.
Muli
sikep itu menyembulkan parasnya yang anggun namun muram dari balik pintu nuwo.
Aku terus memperhatikannya. Tapi dia sama sekali tidak menoleh ke arah warung
ini. Matanya yang indah dihiasi kantong mata yang lunak menatap sendu ke arah
danau yang seluruh permukaannya kelabu. Kabut masih betah menari di atas danau.
Apakah muli sikep itu punya kenangan khusus dengan danau itu?
Aku
mencoba melambaikan tangan memanggil muli sikep yang kini termangu di ijan
nuwo. Namun agaknya dia tidak memperhatikan lambaian tanganku. Matanya
yang sayu masih lekat menatap danau yang kelabu. Perilakunya yang ganjil
membuat aku semakin penasaran. Aku harus mencari keterangan tentang dirinya.
Namun setiap penduduk tiyuh yang aku tanya tentang dirinya selalu saja
mengalihkan obrolan. Penduduk seakan sengaja menghindari setiap pembicaraan
tentang muli sikep itu.
Apakah
muli sikep itu seorang yang bermasalah dalam tiyuh ini? Melihat
parasnya yang anggun apa mungkin dia bermasalah dengan warga tiyuh
sehingga harus dikucilkan? Aku menyeruput kopiku dan kembali ke nuwo,
sambil terus memikirkan muli sikep yang aneh itu. Aku memang pernah
mencoba mendekatinya dan mengajaknya ngobrol, namun dia selalu menjauh, seakan
menghindari orang. Hal inilah yang membuat aku heran, kenapa ada muli sikep
yang minder dan berusaha menghindar dari keramaian, padahal dia hidup dalam
sebuah tiyuh yang penuh tata krama dan memegang teguh tradisi Pi’il
Pesanggiri, seperti yang tersurat dalam kitab Kuntara Raja Niti
dan buku Handak.
Senja
tiba. Cahayanya begitu muram. Aku berdiri di tepi danau menikmati angin yang
memainkan kabut di permukaan danau. Kabut hadir seperti hantu, tidak mengenal
waktu, di danau kelabu ini. Muli sikep kembali muncul dari dalam nuwo.
Masih dengan rambutnya yang terurai hampir menyentuh betisnya. Dia mulai
menarik perahunya ke tengah danau. Dengan tenang dia duduk dalam perahu dan
mengayuh ke tengah danau. Perlahan. Sangat perlahan. Penuh irama. Lalu, kabut
yang pekat menelan perahu dan tubuhnya.
Aneh, ke mana muli
sikep itu pergi? Jelas dia tidak hendak menjala ikan seperti yang sering
dilakukan nelayan di tiyuh ini. Saat mengayuh perahu dia tidak membawa
peralatan menjala ikan. Muli sikep itu kini telah menghilang dalam kabut
senja. Apakah di balik kabut itu ada sebuah tiyuh, atau mungkin
kerajaan? Apa mungkin muli sikep itu peri danau yang menyamar, yang
datang ke tiyuh ini untuk suatu keperluan? Mencari tumbal?
Danau
hanya menyisakan kabut. Muli sikep itu telah lenyap dengan perahunya.
Aku kembali ke nuwo dengan perasaan yang tak menentu. Muli sikep
itu benar-benar telah menyita perhatianku. Senja telah pulang ke sarangnya, di
balik kegelapan malam. Nyanyian serangga hutan membuat tiyuh ini penuh
diliputi kegaiban.
Bulan
bercahaya penuh, mengambang di atas danau. Samar-samar terdengar talo balak
dan kulintang pekhing saling bersahutan. Mungkin sedang ada pesta canggot
bakha di sebuah sesat di tiyuh sebelah. Oh…alangkah cerianya
pesta itu. Muli mekhanai yang ayu dan cantik-cantik akan larut dalam
kegembiraan, berebut perhatian dan berlomba menunjukkan kepiwaian menyusun
kata-kata dalam pisaan. Dan tentu para bujang lelakinya akan sibuk
menata gerak menunjukkan jurus-jurus gemulai khakot. Tentu tiyuh
akan riuh dengan tetabuh talo balak dan kulintang pekhing saat
purnama penuh seperti malam ini. Kenapa aku tidak ke tiyuh sebelah saja
menghibur diri? Duh…kenapa pikiranku diliputi oleh muli sikep itu?
Cahaya
lampu minyak jarak begitu gigih berjuang menerangi ruang warung. Aku duduk di
pojok warung. Asap kopi mengepul dari cangkir tembikar di depanku. Seperti
biasa, aku nongkrong bersama lelaki tiyuh, baik yang tua maupun yang
muda. Ngobrol ngarol-ngidul. Dari orang tiyuh di warung ini, aku mencoba
menggali informasi perihal muli sikep aneh itu. Namun sia-sia. Aku tetap
tidak mendapatkan hasil apa-apa. Terasa sekali orang tiyuh sangat enggan
atau mungkin tabu membicarakan muli sikep itu.
Dengan pikiran
letih dan penasaran terhadap muli sikep itu, aku balik ke nuwo.
Lebih baik aku membawa semua kepenatan pikiran ini ke dalam tidur yang nyenyak.
Udara dingin diam-diam merayap turun. Apakah muli sikep itu tidak
kedinginan di tengah danau berkabut? Dasar perempuan sinting, pikirku.
"Kemana
saja tadi, Nak?" seorang tua yang agaknya aku kenal menyapaku. Pakaian
lelaki tua itu sangat lusuh, seperti baru tiba dari perjalanan yang sangat
jauh.
"Tidak
ke mana-mana, Pak. Cuma duduk-duduk di pinggir danau," sahutku sesopan
mungkin. Sebagai penghuni baru di tiyuh ini aku berusaha menjaga setiap
perkataan agar tidak menyinggung perasaan warga.
"Anak
tadi melihat perempuan yang mengayuh perahu itu?"
"Iya,
Pak. Dia mengayuh perahu ke tengah danau dan menghilang di balik kabut. Dia
mencari apa ya, kok mengayuh perahu ke tengah danau hingga malam?" aku
mencoba menggali perihal muli sikep aneh itu.
Seketika air muka lelaki tua itu berubah. Bibirnya yang
kelabu terlihat gemetar. Nampak sekali ia enggan berkomentar. Namun akhirnya,
agak terpaksa, meluncur juga penjelasan dari bibir yang gemetar itu.
"Nak,
perempuan itu sesungguhnya peri danau yang menyamar menjadi manusia. Peri danau
yang suka mengelabui laki-laki dengan parasnya yang selalu nampak anggun namun
muram. Hati-hati, Nak! Muli sikep
itu sangat berbahaya! Jangan sampai Anak terbujuk rayuannya di ajak berperahu
ke tengah danau!" bisik bapak tua itu, pelan sekali, takut kalau
kata-katanya didengar oleh orang, bahkan mungkin oleh kabut sekali pun.
Aku pun
semakin tertarik menggali lebih banyak informasi perihal muli sikep yang
setiap senja menghilang di balik kabut itu.
"Sudah
tiga orang pemuda mati tenggelam setelah ngobrol-ngobrol dengan muli sikep itu," ujar pak
tua itu, masih dengan berbisik, ia menoleh kiri-kanan, cemas kalau ada yang menguping
bisikannya.
"Kejadiannya
kapan, Pak?"
"Sebulan
lalu, sebelum Anak tinggal di tiyuh ini. Tiga pemuda itu tenggelam
ketika mencari ikan pada malam hari. Tiba-tiba saja perahunya bocor di tengah
danau dan badai muncul bersama kabut yang pekat. Tiga hari kemudian mayatnya
baru ditemukan di seberang danau oleh warga yang kebetulan mencari ikan. Saat
ditemukan mengapung, mayatnya hampir membusuk dengan mata yang seperti habis
dicungkil."
"Mengerikan!"
ujarku pelan bercampur heran. Aku bergidik mendengar cerita menyeramkan itu.
"Peri danau itu sedang mencari tumbal untuk
dipersembahkan kepada ratu di kerajaannya. Biasanya setiap menjelang bulan
purnama."
"Lalu apa yang dilakukan muli sikep
itu di balik kabut, Pak?" tanyaku penasaran.
Lelaki tua itu
sejenak terdiam. Dari keningnya yang berkerut, tampak ia sedang mengingat-ingat
sesuatu.
"Menurut
nelayan yang tidak sengaja melihatnya, sampai di tengah danau dia akan melepas
dayungnya dan menyelam ke dalam danau."
"Perahunya
ditambatkan di mana?"
"Perahu
itu akan menghilang dan muncul kembali dengan sendirinya, menjemputnya pagi
hari dan membawanya ke tiyuh."
"Kenapa
setiap dia muncul di pagi hari wajahnya selalu murung?"
"Rupanya
Anak sering mengamati peri danau itu, ya?" selidiknya.
"Tidak
juga, Pak. Saya hanya beberapa kali melihatnya muncul dari balik kabut danau
itu?" kataku sedikit berbohong.
"Anak
harus menghindari muli sikep itu. Berbahaya bagi jiwa Anak
sendiri," pinta lelaki tua itu. "Kami tidak ingin Anak bernasib
seperti tiga pemuda yang mati tenggelam itu."
Setelah
berkata begitu, perlahan lelaki tua itu lenyap ditelan kabut danau yang semakin
kelabu. Tiba-tiba saja tubuhku menggigil dan ada bagian dari tubuhku terasa
sangat dingin. Aku terbangun
tengah malam karena tetesan air hujan yang menerpa perutku. Ternyata atap nuwo
ini ada yang bocor dan belum sempat diperbaiki oleh yang punya. Hujan deras di
luar. Air leluasa menerobos atap nuwo yang bocor dan menerpa perutku.
Udara sangat dingin. Rupanya karena badan dan pikiran letih, rasa penasaranku
terhadap muli sikep itu terbawa sampai ke dalam mimpi. Aneh, siapa
lelaki tua yang muncul dalam mimpiku tadi?
Apa benar muli sikep itu peri danau?
Lama aku berpikir, apa sebenarnya yang sedang melanda tiyuh ini. Kenapa
pikiranku selalu saja tertuju kepada muli sikep yang mengayuh perahu
itu. Kalau benar muli sikep itu peri danau yang jahat, bisa saja selama
ini dia berusaha menghipnotisku, agar aku terjebak pada segala bujuk rayunya.
Kemudian nasibku akan sama dengan tiga pemuda tiyuh ini: mati tenggelam
di dasar danau, menjadi tumbal dewi danau!
Aku mencoba
mengamati danau dari balik tingkap nuwo. Namun aku tidak mampu melihat
apa-apa. Warna malam semakin kelam dan hujan deras di luar. Aku hanya mendengar
sesayup suara air hujan yang beradu dengan permukaan danau. Suara yang ganjil.
Apakah muli sikep itu sudah kembali ke daratan? Atau mungkin malam ini
dia tidur nyenyak, mungkin dalam dekapan hangat suaminya. Apakah dia bersuami?
Pikiranku telah direbut oleh muli sikep itu. Aku harus berusaha membebaskan
diri dari pengaruh sihir peri danau itu. Kuputuskan kembali tidur, tapi mataku
tidak juga mampu terpejam. Ah, hujan begitu rupa mengganggu tidurku. Ah, bukan
hujan, namun mimpi jahanam itu.
Pagi tiba dengan kokok nyaring ayam hutan. Aku
bangun dengan tubuh yang hampir luruh karena letih. Udara pagi begitu bersih
dan segar. Kabut tipis perlahan turun dari pegunungan yang mengelilingi tiyuh.
Cahaya matahari cerah. Aku mengamati permukaan danau yang diam dan mengandung
rahasia itu. Pagi ini aku tidak melihat sosok perahu muncul dari balik kabut. Muli
sikep yang mengayuh perahu tadi malam itu, ke manakah dia?
Siang datang perlahan. Tiyuh agak
terang karena kabut telah sirna diterpa cahaya matahari. Dari arah danau
kulihat seorang penduduk berlari ke arah tiyuh sambil berteriak-teriak
ngeri: "Ada mayat! Mayat!"
Penduduk tiyuh
yang sedang asyik bekerja di ladang seketika berhamburan ke arah suara itu. Aku
pun bergegas berjalan ke arah orang-orang yang mulai berkerumun, ingin
mengetahui apa yang terjadi.
"Ada
apa?!"
“Apa yang
terjadi?!”
"Ada
mayat! Ada mayat mengapung di danau!" ujar orang yang berlari tadi.
Kerumunan
penduduk tiyuh kemudian bergerak ke tepi danau tempat mayat itu
ditemukan.
"Ya,
Tuhan! Ini perempuan yang tinggal sendiri di pinggir tiyuh kita!"
seru seseorang.
"Perempuan
sinting yang sering mendayung perahu menjelang senja dan datang pagi-pagi itu kan?"
sahut yang lain
"Kasihan
ya!? Cantik-cantik kok gila!"
“Dia tidak
gila! Dia jadi pemurung sejak ditinggal mati suaminya. Sebulan lalu suaminya
tenggelam di tengah danau saat mencari ikan malam hari.”
"Rupanya
dia ingin menyusul suaminya. Tak tahan hidup sebatang kara."
“Jangan-jangan
dia jadi tumbal penguasa danau!”
“Jangan-jangan…”
Tepi danau
makin ramai dipenuhi warga yang ingin menyaksikan peristiwa tragis itu. Aku
hanya bisa melongo. Sepatah kata pun tak mampu meluncur dari mulutku. Aku
merasa kehilangan. Ada sesuatu yang terasa lenyap dari selaput jiwaku. Parasnya
yang anggun namun selalu muram. Rambutnya yang panjang tergerai hampir menyentuh
betis. Perahu yang dikayuhnya setiap senja tiba. Kabut kelabu yang menelan
tubuhnya di tengah danau. Kesepiannya. Kesendiriannya. Oh, perlahan kusadari,
aku ternyata mencintai muli sikep itu!***
Denpasar,
2003
Keterangan:
- muli sikep : sebutan khas Lampung untuk
perempuan cantik/anggun.
- tiyuh : kampung
- nuwo : rumah
- ijan : tangga rumah
- talo balak : perangkat alat musik
tradisional Lampung
- kulintang pekhing : perangkat alat musik tradisional
Lampung.
- canggot bakha : pesta adat muda-mudi Lampung
- sesat : balai adat
- muli mekhanai : gadis yang belum menikah
- pisaan : pantun khas Lampung
- khakot : pencak silat khas
Lampung
- Pi’ill Pesanggiri : falsafah hidup orang Lampung
Label:
Cerpen
Reaksi: |
Langganan:
Postingan (Atom)
untuk informasi lebih lanjut mungkin sahabat Isnin80 dapat berkunjung kekalianda Lampung Selatan, karena keterbatsan saya dalam memberikan informasi
dan pencak silat yang saya ketahui antara lain Paksi Muh Silat, La siwa lutung, Singa Bekhuntun, 40 khani, dan banyak lagi yang saya masih lupa dan belum direkomendasikan menyebutkannya
mungking lain waktu kita bisa lebih bayak share tentang pencak asli Lampung dan Indonesia sebagai wujud pelesatrian budaya Indonesia
Untuk daerah kalianda menurut kawan saya di Desa Kekiling di mana ada makam Panglima Cincin orang yang belajar silat itu tengah malam hanya diikuti secara sangat terbatas tidak boleh ditonton orang kalaupun ada yang coba-coba mengintip maka dia akan mendapat serangan dari makhluk yang tidak nampak.