Senin, 29 April 2013

Pakar Etnik Lampung dari Negeri Sakura(Yoshie Yamazaki)

Yoshie Yamazaki
MESKIPUN berasal dari negeri nun jauh di sana (Jepang), sosok Yoshie Yamazaki begitu fasih berbicara tentang etnis Lampung. Baik dari filosofi hidup hingga produk budayanya.

Baginya, etnik Lampung merupakan suku bangsa yang demikian kuat menjaga harga diri, kehormatan, dan rasa malu atau lebih dikenal piil pusanggiri. Serta sifat keterbukaan kepada kaum pendatang atau nemui nyimah hingga kedua masyarakat dapat hidup harmonis berdampingan.

"Dalam antopologi, hal ini disebut koeksistensi. Di mana dua masyarakat berbeda kultur budaya dapat hidup saling berdampingan," kata Sensei Yamazaki, panggilan akrabnya.

Menurut dia, hal ini tak lepas dari keberadaan hukum adat etnik Lampung itu sendiri. Dalam hukum adat Lampung, kata dia, memungkinkan terjadinya perkawinan campuran antara penduduk asli Lampung dan etnik pendatang (luar Lampung). Setelah terjadi perkawinan secara adat, maka si pendatang dapat diterima menjadi bagian dari masyarakat adat Lampung.

Yamazaki berkesimpulan etnik Lampung sejak dahulu kala sudah memiliki tingkat peradaban yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari kelengkapan hukum adat, aksara, bahasa, hingga produk budaya yang bernilai tinggi, terutama dalam bidang tekstil. "Teknologi menenun tapis merupakan teknologi tinggi pada masanya," kata dia.

Perkenalan Profesor Comparative Religion and Religious Anthropology pada Tokyo University of Japan ini dengan etnik Lampung bermula pada awal 1980. Ketika itu dia terpaksa datang ke Lampung demi mendampingi sang suami, Akira Yamazaki. Kala itu, suaminya merupakan tenaga ahli pada Dinas Pekerjaan Umum (PU) Lampung untuk kepentingan irigasi.

Dikatakan terpaksa, karena pada awalnya sang suami menetap sendirian di Lampung. Namun, karena tidak tahan hidup sendirian, Akira Yamazaki memboyong keluarganya di Jepang untuk tinggal di Lampung, termasuk Yoshie yang kala itu merupakan dosen sekaligus peneliti pada Kyoei University of Japan. "Agar bisa tinggal di Lampung saya mengajukan penelitian tentang etnik Lampung," ujarnya.

Sensei Yamazaki ketika itu mengambil judul Akulturasi dan Modernisasi Suku Bangsa Lampung. Setelah memperoleh restu dari pihak universitas, Yamazaki pun terbang ke Lampung. Karena metode penelitiannya bersifat intensif komprehensif, Yamazaki memilih Buwai Selagai pada masyarakat Abung Siwo Mego.

Penelitian ini berlangsung dalam waktu 1,5 tahun dan berakhir dengan selesainya masa tugas sang suami pada 1982. Namun, penelitian yang tak tuntas dan juga tak sempurna membuat dia penasaran.

Kecintaan Yamazaki terhadap etnik Lampung justru makin besar. Hingga akhirnya dia memohon kembali pada almamaternya untuk melakukan penelitian lanjutan selama dua tahun, terhitung sejak 1984 hingga 1986. "Saya sangat beruntung karena mendapatkan informan yang sangat kompeten hingga penelitian saya sempurna," kata dia.

Sosok informan yang dia maksud adalah tokoh tetua adat dari Buwai Selagai masyarakat Abung Siwo Mego, yakni Bapak Syahming bergelar Saripati Marga. Dalam proses penelitian ini, Yamazaki kerap pulang pergi Tanjungkarang Pusat?Way Rarem. Dari pagi hingga malam. Karena sifat penelitiannya yang intensif, Yamazaki mengupas seluk beluk adat Buwai Selagai secara utuh.

Di Jepang, penelitian ini ia publikasikan dalam sebuah buku yang diterbitkan oleh Tokyo University. Setelah menyelesaikan penelitiannya pada Buwai Selagai ditambah Buwai Nunya pada 1986, Yamazaki pun kembali ke negara asalnya.

Hampir sepuluh tahun lebih dia tak lagi bersentuhan dengan budaya Lampung. "Saya sempat kembali ke Lampung atas ajakan anak saya. Tapi itu kunjungan wisata dan bukan penelitian, jadi hanya sesaat saja," kata dia.

Pemda Harus Lestarikan Tekstil Lampung

KEUNGGULAN kualitas tekstil Lampung, menurut Yamazaki, terlihat dari dua buah buku bertitel Indonesian Tekstil terbitan New York yang sebagian besar didominasi oleh foto-foto tekstil Lampung. Baik berupa kain tapis atau kain inuh. Saat ini pun Yamazaki telah mengumpulkan beberapa tekstil Lampung.

Terakhir kali dia membeli kain sungkai seharga Rp10 juta untuk menjadi koleksi pribadi. Yamazaki berharap ada pihak, terutama pemerintah daerah, yang menaruh perhatian lebih terhadap pelestarian dan keberadaan tekstil Lampung.

Menurut dia, hasil kebudayaan itu akan berada pada masa kepunahan karena alat tradisional dan ahli tenunnya telah makin berkurang. "Sulit rasanya untuk memproduksi tekstil Lampung dengan kualitas sama pada zaman dahulu. Tetapi, hal ini tetap harus diupayakan," kata dia.

Dia mengingatkan di setiap peradaban tinggi umat manusia salah satu identitas yang mudah untuk dikenali adalah tekstil atau pakaian tradisional. Demikian halnya dengan produk ataupun identitas dari peradaban masyarakat Lampung yang menurutnya sudah berada pada level tinggi juga harus tetap terjaga keberadaannya.

"Wajar jika etnik Lampung itu kaya karena pada abad 17 atau 18 mereka menikmati harga lada tertinggi di dunia," kata dia.

Raih Penghargaan Peneliti Sosial 2010

TULISANNYA tentang masyarakat etnik Lampung ini mendapat perhatian mahasiswa asal Lampung, Admi Syarif. Admi merupakan dosen pada Universitas Lampung (Unila) yang tengah menempuh tugas belajar guna memperoleh gelar magister dan doktor di Jepang.

Admi terkagum-kagum dengan orang Jepang yang memiliki pengetahuan budaya Lampung, bahkan melebihi pengetahuannya sendiri tentang etnik Lampung.

Sekitar tahun 2005, mahasiswa yang menemuinya di Jepang ini telah menjabat sebagai Sekretaris Lembaga Penelitian Unila. Ketika Admi menawarkan dirinya untuk kembali ke Lampung dalam rangka kerja sama penelitian antara Unila dan Kyoei University, Yamazaki pun mengamininya.

Dia terlibat dalam program pembuatan Kamus Bahasa Lampung dialek (O) serta penelitian sekaligus pembuatan film dokumenter tentang budaya tradisional masyarakat Lampung. Penelitian ini berbuah penghargaan penelitian sosial terbaik pada 2010 silam.

Saat ini, Yamazaki tengah menyusun sebuah proyek lanjutan tentang etnik Lampung, yaitu menulis buku tekstil Lampung. Hal ini membuat sosok kelahiran Chiba-ken, Jepang, pada 25 Mei 1946 kerap keliling Lampung untuk memburu beberapa produk tekstil Lampung klasik yang jumlahnya justru kian sedikit.

Berdasarkan penelusurannya, kain tapis Lampung bermutu tinggi kini berada di museum tekstil New York, Amerika Serikat. Dia menerangkan posisi kain tapis pada masyarakat etnik Lampung merupakan kain yang digunakan pada upacara adat atau begawi dan biasa.

Namun, pada 1980-an banyak pemburu barang antik dari luar negeri mencari kain tapis. Hal inilah yang membuat kain tapis bernilai tinggi. "Terlebih lagi teknologi kain ikat tusuk handak merupakan teknologi tinggi pada zamannya," kata dia. (ABDUL GAFUR/S-3)


BIODATA

Nama : Yoshie Yamazaki
Tempat, Tgl Lahir : Chiba-Ken, Jepang, 25 Mei 1946
Kebangsaan : Jepang
Jabatan : Profesor Dept of International Business Management Kyoei University of Japan
Spesialisasi : Studi perbandingan agama dan antropologi

Pendidikan
- 1978 : De Curse in The Dividion of Humanities, University of Tokyo (Major Comparative Religion)
- 1974 : M.A. in Division of Humanities University of Tokyo (Major Comparative Religion)
- 1970 : Special student in the Division Humanities Sciences Osaka University (Najor Sosiology)
- 1969 : B.A. in Tsuda College (Major English Literature).


Sumber:
Inspirasi, Lampung Post, Kamis, 17 Januari 2013

Wahrul Fauzi Silalahi
DIA dilahirkan dari keluarga petani kecil di Lampung Barat. Dengan modal niat dan logistik yang pas-pasan,pria ini meyakinkan langkahnya ke Bandar Lampung usai lulus SMA untuk meraih cita-citanya menjadi pejuang hukum.

Wahrul Fauzi Silalahi atau biasa dipanggil Fauzi adalah lulusan dari SMA Negeri 1 Liwa, Lampung Barat, pada 2004. Waktu itu dia diterima di Fakultas Hukum Universitas Lampung (Unila).

Sejak kecil, Fauzi memang bercita-cita ingin menjadi pejuang hukum. Karena keyakinannya itu, sampai saat ini ladang dan ruang geraknya dihabiskan untuk membela dan mengimplementasikan tujuan hidupnya, yaitu bermanfaat bagi orang lain.

Beruntung, sejak kecil dia sudah diajarkan hidup mandiri, hemat, dan kerja keras. Pengalaman organisasinya sebagai pemimpin di OSIS menjadikan Fauzi cepat keluar dari beragam masalah ekonomi yang mengimpitnya.

Saat kuliah, Fauzi sempat mengalami kesulitan biaya. Kiriman uang dari orang tuanya di kampung sering telat dan bahkan dia sampai tidak menerima kiriman uang bulanan. Padahal, Fauzi yang dilahirkan di Medan, Sumatera Utara, 31 Agustus 1986, harus memikirkan uang makan, uang kuliah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar