gamolan
MAKALAH
WAWASAN BUDAYA DAN SENI
“ GAMOLAN LAMPUNG “
OLEH
AL FISQY KAYYASAH AMALIYYAH
NPM
1113043003
PRODI SENI TARI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2012
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………………….. iDAFTAR ISI …………………………………………………………………………………….. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ……………………………………………………….3
1.2. Tujuan ……………………………………………………………………………. ……..3
1.3. Teori Kebudayaan ………………………………………………………………………4
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Kondisi awal atau terdahulu ……………………………………………… …6-10
2.2.Kondisi sekarang…………………………………………………..10-19
2.3.Bukti bahwa gamolan terdapat pada relief candi Borobudur …………………………………………………………………………19-21
2.4. Proses pembuatan……………………………………………………………… ….22-23
2.5. Hal-hal yang mempengaruhi perubahan…………………………..23-26
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan dan Saran………………………………………………27.
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Dalam dinamika realitas kehidupan modern, kehadiran identitas baru dan hilangnya identitas lama adalah risiko yang harus dipikul bersama. Ia menjadi tanggung jawab semua lapisan masyarakat sebagai implikasi dari keinginan mereka yang sangat kuat untuk membangun segala dinamika kehidupan.Maka dari itu kita akan membahas seberapa eratnya Gamolan Lampung menghidupkan suatu identitas kebudayaan Lampung
Music tradisional Lampung adalah salah satau bagian music Nusantara yang masih bertahan hidup dan melekat dijiwa masyarakat Lampung. Buku ini adalah bagian kecil dari sekian banyak music tradisi Lampung yang masih belum diabadikan.
Latar belakang penulis menulis makalah ini adalah untuk memberitahukan kepada para pembaca bahwa di Lampung memiliki kenaekaragam corak budaya. Dalam makalah ini penulis akan meninjau kebudayaan Lampung khususnya Gamolan. Pada makalah ini pembaca dapat mengetahui apa-apa saja yang dimiliki dan yang unik yang ada pada Gamolan Lampung. Semoga dengan dibuatnya makalah ini, pembaca dapat menambah pengetahuan mengenai Gamolan Lampung.
1.2.Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini yaitu merupakan suatu usaha untuk menggali nilai-nilai luhur budaya dalam rangka memperkuat penghayatan dan rasa cinta tanah air yang pada era globalisasi ini yang mulai mengikis rasa nasionalisme kita ,terutama kaum pemuda penerus bangsa ini. Dan agar memberi pengetahuan kepada masyarakat dan khususnya pelajar bahwa di Lampung memiliki alat music yang unik yakni Gamolan Lampung yang dapat digunakan sebagai identitas budaya Lampung.
1.3.Teori kebudayaan
- Teori Evolusi
- Degenerasi
- Difusi
- Penetrasi damai (penetration pasifique) adalah Masuknya sebuah kebudayaan dengan jalan damai. Misalnya, masuknya pengaruh kebudayaan Hindu dan Islam ke IndonesiaPenerimaan kedua macam kebudayaan tersebut tidak mengakibatkan konflik, tetapi memperkaya khasanah budaya masyarakat setempat. Pengaruh kedua kebudayaan ini pun tidak mengakibatkan hilangnya unsur-unsur asli budaya masyarakat.
- Akulturasi adalah bersatunya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli. Contohnya, bentuk bangunan Candi Borobudur yang merupakan perpaduan antara kebudayaan asli Indonesia dan kebudayaan India.
- Asimilasi adalah bercampurnya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru. Sedangkan Sintesis adalah bercampurnya dua kebudayaan yang berakibat pada terbentuknya sebuah kebudayaan baru yang sangat berbeda dengan kebudayaan asli.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Kondisi AwalGamolan pekhing
Adalah alat music tradisional lampung yang berasal dari skala brak, diperkirakan sudah ada sejak abad 485 SM Menurut Wirda Puspanegara, secara etimologi, gamolan berasal dari kata gimol yang artinya gemuruh atau getar yang berasal dari suara bambu dan menjadi gamolan, yang artinya bergemuruhan atau bergetaran. Sementara itu, begamol, artinya berkumpul. Seniman cetik (gamolan) Syapril Yamin mengatakan gamolan pada awalnya merupakan instrumen tunggal yang konon dimainkan dan yang menemani seorang meghanai tuha (bujang lapuk), yang menetak peghing mati temeggi atau tunggul bambu tua tegak yang sudah lama mati.
.
Perangkat gamolan:
- Gamolan pekhing
- Kekhuan bahing / kentungan dari kulit kura-kura
- Kekhuan bamboo
- Gendang bauk
- Notasi
1 2 3 5 6 7 i
Do re mi sol la si do
Sai wajai khwa khitu khop kayo
Jenis tabuhan:
- Sambai agung
- Jakhang
- Sekelik
- Labung angin
Dalam perkembangannya gamolan pekhing sering disebut cetik karena menhasilkann bunyi “tik-tik” padahal yang disebut cetik ialah alat pemukulnya.
Pencetus kata CETIK ialah Harry Djayaningrat dengan tujuan untuk lebih memperkenalkan kepada masyarakat. Pergeseran istilah instrumen musik ini dari gamolan menjadi cetik, konon karena
tampilan suara yang dihasilkan gamolan, sehingga akhirnya gamolan juga dijuluki sebagai cetik. Pergeseran istilah ini terjadi pada sekitar medio tahun 90-an. Demikianlah penyebutan gamolan menjadi cetik akhirnya menjadi lumrah dan menjadi sebutan yang umum bagi gamolan. Bahkan, dalam penulisan sekalipun seperti dalam penulisan buku Pelajaran Muatan Lokal untuk Provinsi Lampung.
Namun, beberapa peneliti dari Taman Budaya Lampung (TBL) menyebut instrumen musik ini sebagai kulintang. Demikianlah dinamika gamolan dalam istilah dan penyebutan. Oleh sebab itu, saya sepakat untuk kembali menyebut gamolan bagi instrumen musik ini karena terkait dengan sejarah panjang serta fungsi dan peranan gamolan dalam tradisi masyarakat adat Lampung. Demikianlah apa pun dan bagaimanapun dinamika dari sebuah sebudayaan, tapi sejarah dan istilah harus diluruskan karena berkaitan dengan tradisi, falsafah, dan perjalanan panjang sejarah dan peradaban dari sebuah suku bangsa.
Wayan Sumerta, Penemu Laras Nada Cetik
Pria asal Bali ini menceritakan awal mula ketertarikannya pada cetik. ’’Saya datang ke Lampung awal tahun 1997. Di sini, saya menemukan berbagai alat musik,” kenang PNS di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lampung ini. Salah satu alat musik yang ditemuinya memiliki bentuk unik yakni cetik. ’’Sekilas, saya lihat hampir sama dengan alat musik Bali yang bernama timbung,” ujarnya.
Dari sini, suami Ni Made Ratnadi tersebut mengumumkan bahwa cetik berjenis pelog dengan enam nada. ’’Nah, cetik ini berbeda dengan di Bali dan Jawa yang memiliki lima dan tujuh nada,” papar Wayan.Laras nada itu ia teliti dengan maksud memudahkan siswa-siswi di Lampung dan mahasiswa seni untuk mempelajari alat musik tradisional tersebut.’’Laras nada alat musik cetik ada enam, tanpa nada fa atau nada keempat,” katanya lagi.
Saat ini, alat musik cetik mulai dipelajari di seluruh perguruan tinggi seni di negeri ini. Seperti Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta, ISI Denpasar, ISI Surakarta, STSI Bandung, dan STSI Padang Panjang.’’Harapannya, mereka bisa mempelajari dan melestarikannya, serta dapat dikaji lagi kesenian itu,” katanya.Untuk lebih memudahkan mereka belajar, Wayan juga menulis beberapa buku tentang cetik. Yaitu Notasi Talobalok dan Cetik produksi tahun 2003, Pembekalan Pelatihan Gamolan Pekhing tahun 2008, dan masih ada beberapa lagi lainnya. (ais)
2.2. Kondisi Sekarang
ABSTRACT: Gamolan is a traditional musical instrument of Lampung in southern Sumatera, which is believed to have existed there since of Hinduism period. It is a percussion instrument made of bamboo, that has been a long heritage of the local agricultural community. Indeed, West Lampung mountainous area has become a main dwelling place of its indigenous hill-tribes people, who had managed to maintain the survival of their generation. Meanwhile their ancestor is believed to have come from Sekala Brak area, which inherited the widespread old Javanese Hinduism keyed gamelan instrument that implied in gamolan. This research aims to investigate the form, function, and development of gamolan instrument, that conducted in ethnomusicology discipline, supported by historical and anthropological approaches. Investigation has shown that gamolan serves as a means of local cultural expression, people’s communication, and personal entertainment as well. Apart from its function as solo instrument to perform tabuhan, gamolan is also played to accompany dance and singing, or incorporated into an ensemble of tala (gongs), gindang (doubleheaded drum), and rujih (a pair cymbals). Meanwhile, the song repertoires consisted of hahiwang, bebandung, pepecuch, and muayak, performed in generic or creative forms of tabuhan. In its development, though gamolan have existed long time before the establishment of modern communication such as radio, television, and highway road, however, period of 1960s is considered as the renaissance of gamolan. Paradoxically, when Sekala Brak area of West Lampung has been touched by the technology of information and transportation, gamolan has gradually turned into a marginality in its cultural map, that are urgently in need of rejuvenating and empowerment actions through a definitive attention and participation of local authority and community concerned.
INTISARI: Gamolan adalah instrumen musik tradisional Lampung, diperkirakan telah ada pada zaman Hindu, ratusan tahun yang lalu. Instrumen tersebut terbuat dari bahan baku bambu yang termasuk ke dalam klasifikasi instrumen musik berlempeng yang dimainkan dengan cara dipukul. Gamolan merupakan refresentasi dari masyarakat yang agraris, pertanian dan alam pegunungan menjadi ciri utama bangsa pada masa lampau yang menjadi hajat dan kehidupan bagi kelangsungan anak cucu mereka. Asal usul nenek moyang orang Lampung dipercaya berasal dari Sekala Brak merupakan percampuran dari bangsa-bangsa India, China, Arab dan Eropa yang terintegrasi ke dalam masyarakat Lampung yang menelurkan musik akulturasi. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan bagaimana bentuk, fungsi, dan perkembangannya. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan etnomosikologi sebagai pendekatan utama. Di samping itu pendekatan antropologi, dan sosiologi, sebagai pendekatan pendukungnya. Teori yang digunakan juga disesuaikan dengan pokok permasalahan. Fungsi dari gamolan adalah sebagai sarana hiburan pribadi, sarana upacara adat, sarana komunikasi, sarana suara kebudayaan, sarana hiburan dan sebagai sarana industri dan lain-lain. Perkembangan gamolan mempunyai beberapa periode antara lain sebelum mendapat pengaruh informasi dari radio, televisi dan jalan masih belum dibangun sekitar tahun 1960, masa tersebut adalah zaman keemasan gamolan. Namun, setelah itu ketika informasi dan transformasi masuk ke daerah ini maka gamolan sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat Sekala Brak Lampung. Gamolan bisa digunakan sebagai musik tunggal, ansambel, instrumentalia dan musik pengiring tari maupun pengiring vokal yang terbentuk kedalam pantun, seperti: hahiwang, bebandung, pepecuch, dan muayak. Lagu yang dipakai terbagi kedalam jenis tabuhan adat dan non adat.
Perkenalan Hasyim dengan gamolan terjadi saat dia masih menjadi guru seni di SMAN 9 Bandar Lampung. Saat itu ada pelatihan memainkan gamolan di Taman Budaya Lampung tahun 1998. Alat musik asal Lampung Barat ini kemudian menjadi inspirasinya dalam membuat tesis kuliahnya di Universitas Gadjah Mada (UGM).
”Awalnya saya pikir gamolan sederhana dan mudah untuk diteliti. Tahunya rumit dan lebih susah,” kata Hasyim saat ditemui di Kampus Jurusan Seni Tari Unila di Jalan Panglima Polim, Selasa (10-1). Bagi dosen Jurusan Seni Tari FKIP Unila ini, musik etnis lebih susah dipelajari dibandingkan dengan music modern Dari hasil penelitian dan studi literatur yang sudah dia lakukan, ada kesimpulan bahwa gamolan Lampung yang terbuat dari bambu merupakan awal dari alat musik gamelan perunggu yang ada saat ini. Bahwa sesuatu yang sederhana mengawali suatu yang rumit. Bahwa kebudayaan bambu merupakan awal dari kebudayaan perunggu. Hal ini didukung oleh teori H. Stewart yang mengungkapkan bahwa hal relatif sederhana lebih dahulu dari yang rumit. Gamolan mempunyai beberapa versi nada seperti do re mi so la si, do re mi so la si do, dan do re mi fa so la si do. Perbedaan nada ini disesuaikan dengan kebutuhan di daerah masing-masing.Penelitian yang dilakukan Hasyim kemudian mendapat angin segar setelah menemukan bahwa pernah ada penelitian tentang gamolan yang dilakukan Prof. Margaret J. Kartomi, guru besar dari Monash University.
Penelitian yang dilakukan Hasyim untuk gamolan tergolong lengkap. Dia menggunakan pendepakatan etnomusikologi, antropologi, arkeologi, sosiologi, religi, sejarah, linguistik, dan supranatural. Sebelumnya penelitian gamolan hanya menggunakan kajian etnomusikologi berupa cara bermain musiknya saja.
Menurut dia, pendekatan supranatural dimungkinkan untuk penelitian yang tidak ditemukan bukti peninggalan sejarah. ”Saya pun menggunakan sebuah teori yang menyebutkan bahwa bila pernyataan diungkap dua orang atau lebih dan tidak bertentangan dengan keilmuan yang ada, dapat diambil kebenarannya” kata dia.
Menurut dia, gamolan merupakan perpaduan dari budaya India dan China yang masuk ke Sumatera. Gamolan berasal dari bahasa Sansakerta, yakni gamel yang berati memukul. Kemudian saat China masuk maka kata gamol diartikan sebagai berkumpul dan kemudian dikenallah gamolan. Budaya asli Sumatera saat itu hanya berupa bambu bulat yang berfungsi sebagai kentongan. Setelah China masuk dan membawa kebudayan bambu maka terjadilah akulturasi dan membuat gamolan seperti saat ini, perpaduan antara bambu bulat dan lempengan.
Dia sudah memiliki banyak literatur dan penelitian yang menunjang bahwa keberadaan gamolan lebih dahulu ada. Adanya relief gamolan di Candi Borobudur menunjukkan bahwa alat musik ini diakui oleh pendiri Candi Sailendra. Dalam bahasa Lampung pun dikenal kata “sai”. “Tidak semua gambar bisa diukiri di Borobudur. Kalau bukan karena perintah Sailendra, tidak mungkin gamolan terukir di candi. Di dalam bahasa Lampung ada kata way yang juga dikenal dalam agama Hindu Waisak,” kata dia. Menurutnya, anekdot yang menyebut bahwa musik nusantara dimulai dari Jawa, bahwa musik Jawa lengkap, kemudian bergeser ke barat berkurang sedikit, sampai Jawa Barat berkurang, terus ke Lampung berkurang lagi, lalu sampai Palembang, Jambi, Sumut, hingga sampai Aceh tinggal tepuk-tepuk dada saja, tidak benar.
Gamolan sebagai sebuah instrumen musik tidak dapat dipisahkan dari perjalanan panjang peradaban Lampung dalam hal ini Kerajaan Sekala Brak. Rupanya gamolan Lampung telah diteliti Margaret J. Kartomi dan dicantumkan dalam bukunya Musical Instruments of Indonesia yang diterbitkan Indonesian Art Society Association with The Department of Music Monash University, 1985.
Margaret adalah seorang profesor musik dari Monash University Australia yang telah menggeluti musik gamelan selama lebih dari 30 tahun. Ia datang ke Lampung Barat medio 1982. Dalam bukunya, Margaret menyebutkan bahwa gamolan berasal dari Liwa, daerah pegunungan di bagian barat Lampung, “A Gamolan origin from Liwa in the montainous nortwest area of
Lampung.”
Etnomusikolog asal Australia Prof. MARGARETTE J.KARTOMI peneliti Gamolan Lampung menyatakan ketertarikan dirinya meneliti alat music bambu macam Calung Banyumasan ini, berawal saat dirinya bersama suami melakukan perjalanan, dari jakarta ke Bengkulu tahun 80-an saat di Krui melihat Gamolan yang hanya memiliki 6 nada, tanda nada Fa ini. “penelitian saya berawal saat saya bersama suami traveling ke Bengkulu, tahun 80-an diperjalanan saya mendengar suara tetabugan yang ternyata berasal dari alay music bamboo ini” katanya dengan bahasa Indonesia beraksen Australia. Dalam penelitiannya, lanjut Prof. MARGARETE, ternyata alat music bambu yang bunyinya mirip angklung dan kolintang ini, telah ada sejak zaman Megalitikum sekitar abad 3 Masehi. Mengapa dirinya tertarik meneliti Gamolan, menurutnya ada tiga alasan, yakni karena suaranya yang merdu, unik dan dari segi nama, Gamolan membuat penasaran karena nyaris seperti Gamelan alat music tradisional Jawa. “Namun ironisnya, Gamolan ini ada pada Relief candi Borobudur yang dibangun di abad ke- 8 masehi, artinya bisa jadi Gamolan adalah cikal bakal dari Gamelan”
Musik tradisional Lampung yang dikenal bambu gamolan peghing bisa go national bila dikemas dan dipromosikan dengan baik oleh masyarakat dan dinas terkait. Karena musik ini tidak kalah menarik dengan musik gamelan dari Jawa ataupun Bali.
Profesor asal Universitas Monash, Australia, itu menjelaskan dia berkenalan dengan gamolan di Krui, Lampung Barat, tahun 1980. Gamolan yang ditemukan terbuat dari bambu, kayu, dan dimainkan dua orang. “Saya waktu itu dari Bengkulu bersama suami. Saya pikir itu sama dengan gamelan dari Jawa. Ternyata bukan, itu gamolan. Suaranya berbeda, lebih indah. Gamelan juga merupakan seperangkat alat musik, sedangkan gamolan hanya sebuah alat musik,” kata wanita kelahiran 24 November 1960 itu. Dia memprediksi gamolan ada sejak abad ke-3 Masehi karena tergambar di relief Candi Borobudur. Gamolan terdiri dari bambu dan kayu yang disebut kendang dan tawak-tawak. Alat musik ini, menurut dia, berasal dari perpaduan seni India dan China yang terbawa ke Lampung melalui Way Kanan. “Tapi dulu nadanya lengkap dari do re mi fa sol la si do. Tapi sekarang fa-nya hilang. Ini menarik untuk diteliti lagi,” kata dia. Di sisi lain, dosen Program Studi Seni Tari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lampung Hasyimkan mengatakan gamolan merupakan bagian kebudayaan Nusantara. Gamolan berasal dari kata begamol yang dalam bahasa Lampung sama dengan begumul atau berkumpul dalam bahasa Melayu.
Instrumentalia ini terdiri dari delapan lempengan bambu diikat bersambungan dengan tali rotan yang disusupkan melalui sebuah lubang yang ada di setiap lempengan dan simpul di bagian teratas lempengan. Gamolan dan gamelan memiliki nama yang nyaris sama tetapi berbeda. “Tangga nada gamolan Lampung berdasar arkeologi atau instrumen, yakni do re mi so la si do. Sedangkan gamelan Jawa slendro instrumennya do re mi so la si,” kata dia. (LIN/U-1)
Hipotesis yang menyatakan bahwa seperangkat orkestra gamelan Jawa adalah berasal dan merupakan pengembangan dan perkembangan dari gamolan Lampung juga sangat kuat dan mempunyai alur yang jelas. Setidaknya ada tiga hal yang menguatkan hipotesis ini. Pertama, pertama, hal yang relatif sederhana adalah merupakan peradaban awal dan adalah permulaan dari pengembangan hal yang lebih rumit dan kompleks [H. Stewart]. Kedua, secara etimologi dalam konteks nama relatif tidak berubah dari gamolan (Lampung) menjadi gamelan (Jawa). Ketiga, gamolan Lampung dibawa ke Pulau Jawa dan bermetamorfosis sedemikian rupa menjadi seperangkat orkestra gamelan Jawa. Gamolan Lampung dibawa ke Pulau Jawa saat Sriwijaya menguasai Nusantara, termasuk Jawa. Gamolan Lampung terpahat dalam relief di Candi Borobudur (abad ke 8 M). Candi Borobudur sendiri dibangun Dinasti Syailendra Sriwijaya, sekelompok orang yang membuat Candi Borobudur juga adalah orang Lampung [Hasyimkan, 2011]. Sriwijaya sebagai sebuah Kerajaan Maritim terbesar di Asia Tenggara mempunyai perjalanan sejarah yang panjang dan pertautan yang sangat erat dengan Kerajaan Sekala Brak. Kerajaan Sriwijaya didirikan Dapunta Hyang Sri Jaya Naga seorang Raja Buddhis dari Ranau Sekala Brak. Pendiri Sriwijaya ini dijuluki Syailendravarmsa atau Raja Pegunungan. Pandangan ini didukung pendapat para ahli dan sejarawan sebagaimana yang diungkapkan Lawrence Palmer Briggs dalam The Origin of Syailendra Dinasty dalam Journal of American Oriental Society Vol 70, 1950. Lawrence menyatakan “Sebelum tahun 683 Masehi ibu negeri Sriwijaya terletak di daerah pegunungan agak jauh dari Palembang, tempat itu dipayungi dua gunung dan dilatari oleh sebuah danau. Itulah sebabnya Syailendra dan keluarganya disebut Raja Pegunungan.”
Jelas, dua gunung yang dimaksud Lawrence adalah Gunung Pesagi dan Gunung Seminung, sedangkan danau yang dimaksud adalah Danau Ranau.Setelahperpindahan dari Sekala Brak, Sriwijaya setidaknya tiga kali berpindah ibu negeri, yaitu Minanga Komering, Palembang, dan Darmasraya Jambi. Namun, para sejarawan juga ada yang berpendapat bahwa Patthani di selatan Thailand adalah ibu negeri terakhir Sriwijaya.
Menurut Wirda Puspanegara, secara etimologi, gamolan berasal dari kata gimol yang artinya gemuruh atau getar yang berasal dari suara bambu dan menjadi gamolan, yang artinya bergemuruhan atau bergetaran. Sementara itu, begamol, artinya berkumpul. Seniman cetik (gamolan) Syapril Yamin mengatakan gamolan pada awalnya merupakan instrumen tunggal yang konon dimainkan dan yang menemani seorang meghanai tuha (bujang lapuk), yang menetak peghing mati temeggi atau tunggul bambu tua tegak yang sudah lama mati.
Gamolan yang merupakan instrumen xilofon yang berasal dari Lampung Barat, dideskripsikan Margaret J. Kartomi dalam Musical Instruments of Indonesia sebagai berikut: “Gamolan terdiri dari delapan lempengan bambu dan memiliki kisaran nada lebih dari satu oktaf, lempengan bambu tersebut diikat secara bersambung dengan tali rotan yang disusupkan melalui sebuah lubang yang ada di setiap lempengan dan disimpul di bagian teratas lempeng, penyangga yang tergantung bebas di atas wadah kayu memberikan resonansi ketika lempeng bambunya dipukul sepasang tongkat kayu. Gamolan memiliki tangga nada 1 2 3 5 6 7, dua orang pemain duduk di belakang alat musik ini salah satu dari mereka memimpin [begamol] memainkan pola pola melodis pada enam lempeng, dan yang satunya [gelitak] mengikutinya pada dua lempeng sisanya, lempeng lempeng pada gamolan distem dengan cara menyerut punggung bambu agar berbentuk cekung. Gamolan dimainkan bersama-sama dengan sepasang gong [tala], drum yang kedua ujungnya bisa dipukul [gindang] dan sepasang simbal kuningan [rujih].”
Ketua Penyelenggara Pergelaran Gamolan Pekhing M. Kemal Sjachdinata |
“Gamolan ini lebih dulu ada sebelum masyarakat mengenal cetik dan kolintang. Oleh sebab itu, pada hari ini kami perkenalkan ke masyarakat, pemerintah, tokoh adat, dan pemerhati budaya kalau Lampung memiliki alat musik gamolan,” kata dia.
2.3. Bukti bahwa Gamola terdapat di Candi Borobudur
Menurut sejarahnya, Gamolan pekhing ini sudah ada sejak abad ke-4 masehi. Gamolan pekhing ini pada mulanya diteliti oleh seorang Prof. Margareth J. Kartomi dari Australia yang sudah meneliti keberadaan seni dan budaya Lampung selama 27 tahun, salah satunya yang menurut penuturannya, yang paling menarik adalah Gamolan Pekhing. Ada tiga hal yang menurut Prof. Margareth J. Kartomi berkesimpulan seperti itu, antara lain, Suara Gamolan terdengar begitu manis dan bagus meskipun hanya terdiri dari 6 nada: Do, Re, Mi, Sol, La, Si dan tidak memiliki nada Fa, tetapi ketika dimainkan, alat musik yang terbuat dari bambu dan hanya terdiri dari satu instrument ini enak untuk didengarkan. Faktor kedua adalah, namanya Gamolan dia mengira sama dengan Gamelan yang ada di Jawa, tetapi tidak ada hubungannya sama sekali, yang terakhir adalah yang paling menarik ditemukan relief Gamolan di candi Borobudur. Sebuah relief di Candi Borobudur bentuknya mirip dengan Gamolan, sehingga dapat diperkirakan Gamolan itu sudah ada sebelum candi tersebut didirikan.
Sangat menarik, setelah kami dari STAH Lampung mengikuti acara tersebut muncul banyak asumsi dari kami, jika dikaitkan dengan sejarah perkembangan Hindu di Indonesia. Keberadaan kebudayaan Lampung yang salah satunya adalah Gamolan Pekhing ini adalah peninggalan pada masa-masa kerajaan Hindu dahulu pada abad ke-empat. Berarti pada abad itu sudah ada peradaban yang cukup maju di Lampung, khususnya di daerah Lampung Barat dan Way Kanan yang dikatakan oleh Prof. Margareth J. Kartomi sebagai daerah asal Gamolan pekhing tersebut.
Selain hal itu masih banyak sekali budaya Lampung yang setelah kami amati memiliki kaitan erat dengan Hindu, antara lain: Tari Bedayo (Tari Sakral), Tari Sembah (Sekapur Sirih), kemudian dalam acara pemecahan Rekor MURI tersebut ada bangunan adat Lampung yang mirip dengan balai pawedan yang selalu ada setiap perayaan maupun Upacara Hindu. Bangunan tersebut hampir mirip dengan konsep Panca Dewata, terdiri dari Lima Tiang Penyangga di sebelah selatan (Brahma), timur (Iswara), utara (Wisnu), barat (Mahadewa) dan tengah (Siwa). Yang unik lagi dan sangat identik denga Hindu, bangunan tersebut dibalut dengan kain putih-kuning (Wastra), menggunakan tedung putih dan kuning di sebelah kanan dan kiri bangunan tersebut. Di samping itu pada badan bangunan juga dibalut dengan kain warna berumbun (Putih, merah,hitam kuning) sangat identik dengan Hindu.
Ini yang menandakan bahwa kejayaan Hindu dahulu masih meninggalkan budaya yang sampai saat ini masih melekat di setiap upacara maupun acara adat daerah setempat. Khususnya daerah Lampung, bukan tidak mungkin, dengan mulai diangkat kembali ke permukaan adat, tradisi dan budaya tersebut merupakan langkah awal kebangkitan Hindu. Perlu penelitian yang lebih mendalam terhadap budaya setempat khususnya oleh generasi Hindu
2.4. Proses pembuatan Gamolan
Bambu sepanjang delapan meter kemudian disimpan selama enam bulan, selanjutnya bambu tersebut di potong-potong menjadi lima bagian, dan dari sinilah bambu dibelah-belah menjadi beberapa bilah yang disesuaikan dengan kebutuhan nada.
Proses selanjutnya adalah pelarasan nada, kemudian bambu disusun diatas bambu yang sudah dilubangi agar bilah bambu menghasilkan resonansi suara yang bulat. Sepintas membuat alat musik ini tidak begitu sulit, namun menyelaraskan nadanya yang agak sukar. Gamolan ini menurut Syafril Yamin dipelajari dari bapaknya yang juga seniman Gamolan ini. Dan keinginannya untuk melestarikan Gamolan yang kemudian membuatnya menjadi seorang pengrajin alat musik tersebut.
2.5. Hal-hal yang mempengaruhi perubahan
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karyaseni.Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Ada faktor-faktor yang mendorong dan menghambat perubahan kebudayaan yaitu
1. Mendorong perubahan kebudayaan
Adanya unsur-unsur kebudayaan yang memiliki potensi mudah berubah, terutama unsur-unsur teknologi dan ekonomi ( kebudayaan material).
Adanya individu-individu yang mudah menerima unsure-unsur perubahan kebudayaan, terutama generasi muda.
Adanya faktor adaptasi dengan lingkungan alam yang mudah berubah.
2. Menghambat perubahan kebudayaan
Adanya unsur-unsur kebudayaan yang memiliki potensi sukar berubah
seperti :adat istiadat dan keyakinan agama ( kebudayaan non material)
Adanya individu-individu yang sukar menerima unsure-unsur perubahan terutama generasi tu yang kolot.
Ada juga faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan kebudayaan :
A.Faktor intern
• Perubahan Demografis
Perubahan demografis disuatu daerah biasanya cenderung terus bertambah, akan mengakibatkan terjadinya perubahan diberbagai sektor kehidupan, c/o: bidang perekonomian, pertambahan penduduk akan mempengaruhi persedian kebutuhan pangan, sandang, dan papan.
• Konflik social
Konflik social dapat mempengaruhi terjadinya perubahan kebudayaan dalam suatu masyarakat. c/o: konflik kepentingan antara kaum pendatang dengan penduduk setempat didaerah transmigrasi, untuk mengatasinya pemerintah mengikutsertakan penduduk setempat dalam program pembangunan bersama-sama para transmigran.
• Bencana alam
Bencana alam yang menimpa masyarakat dapat mempngaruhi perubahan c/o; bencana banjir, longsor, letusan gunung berapi masyarkat akan dievakuasi dan dipindahkan ketempat yang baru, disanalah mereka harus beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan budaya setempat sehingga terjadi proses asimilasi maupun akulturasi.
• Perubahan lingkungan alam
Perubahan lingkungan ada beberapa faktor misalnya pendangkalan muara sungai yang membentuk delta, rusaknya hutan karena erosi atau perubahan iklim sehingga membentuk tegalan. Perubahan demikian dapat mengubah kebudayaan hal ini disebabkan karena kebudayaan mempunyai daya adaptasi dengan lingkungan setempat.
2. Faktor ekstern
• Perdagangan
Indonesia terletak pada jalur perdagangan Asia Timur denga India, Timur Tengah bahkan Eropa Barat. Itulah sebabnya Indonesia sebagai persinggahan pedagang-pedagang besar selain berdagang mereka juga memperkenalkan budaya mereka pada masyarakat setempat sehingga terjadilah perubahan budaya dengan percampuran budaya yang ada.
• Penyebaran agama
Masuknya unsur-unsur agama Hindhu dari India atau budaya Arab bersamaan proses penyebaran agama Hindhu dan Islam ke Indonesia demikian pula masuknya unsur-unsur budaya barat melalui proses penyebaran agama Kristen dan kolonialisme.
- •Akulturasi adalah bersatunya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli. Contohnya, bentuk bangunan Candi Borobudur yang merupakan perpaduan antara kebudayaan asli Indonesia dan kebudayaan India.
- •Asimilasi adalah bercampurnya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru. Sedangkan Sintesis adalah bercampurnya dua kebudayaan yang berakibat pada terbentuknya sebuah kebudayaan baru yang sangat berbeda dengan kebudayaan asli.
Kesimpulan
Pada dasarnya alat music ini tetap disebut sebagai gamolan walawpun
sudah mengalami beberapa perubahan dari segi panggilan nama alat music
itu sendiri sampai alat musiknya.Alat musiknya kini sudah memiliki 7 notasi irama yaitu do re mi fa sol la si do,alatnya kini sudah menjadi 1 perangkat dengan ditambah gong,gendang dan lain-lain.
Yang mengalami perubahan hanyalah alat pemukulnya dan tali pengait , dahulu alat pemukulnya menggunakan biji pinang, sekarang sudah diganti dengan bamboo, alat pengaitnya menggunakan rotan kini sudah diganti dengan tali senar, dan gamolan pada saat ini tahap finishingnya sudah dipernis bertujuan supaya gamolan tersebut awet.
Saran
Daftar Pustaka
http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&typ=html&buku_id=52756&obyek_id=4diakses 20 april 2012; 10.30
http://www.lampungprov.go.id/read/259/telah.ada.sejak.3000.tahun.silam
diakses 20 april 2012; 15.30
http://ulunlampung.blogspot.com/2009/05/musik-gamolan-peghing-bisa-menasional.html
diakses 20 april 2012; 14.45
http://www.radarlampung.co.id/read/bandarlampung/metropolis/15500-wayan-sumerta-penemu-laras-nada-cetik
diakses 23 april 2012; 15.55
http://www.sejarahgamolan.blogspot.com/2009/16/gamolan-peghing.html
diakses 23 april 2012;17.35
http://gamolanlampung.blogspot.com/2010/28/musik-gamolan-pekhing.html
diakses 23 april 2012 ; 17.45
http://www.gamolan-terdapat-di-candi Borobudur.blogspot.co.id.
diakses 25 april ; 13.45
Bakker,J.W.M.1984. Filsafat Kebudayaan :BPK Gunung Mulia,Kanisus
Endraswara,Suwardi,.2003. Metodologi Penelitian Kebudayaan : Gajah Mada University Press
Hasyimkan .2012. Musik Tradisional lampung Gamolan, Rebana, Hardrah. Lampung : FKIP Universitas Lampung
Pertanyaan
1.Fredy Tenang
Pertanyaan :Bagaimanakah perubahan gamolan dari segi penampilan dan irama ?
Jawab: dahulu alat pemukulnya menggunakan biji pinang, sekarang sudah diganti dengan bamboo, alat pengaitnya menggunakan rotan kini sudah diganti dengan tali senar, dan gamolan pada saat ini tahap finishingnya sudah dipernis bertujuan supaya gamolan tersebut awet. Dari segi irama kini gamolan sudah ada yang bertangga nada do,re,mi,fa,sol,la,si,do.
2.Aliman Surya
Pertanyaan :mengapa alat music gamolan disebut cetik?
Jawaban: karena alat Pemukul alat msuik gamolan menghasilkan bunyi “tik,tik”
3.Fiqral Iftahul PN
Pertanyaan : bagaimanakah saat ini cara pemerintah mengembalikan sebutan alat music ini yang banyak disebut cetik di kota-kota besar?
Jawab : pemerintah selalu berusaha menyama ratakan sebutan alat music ini yaitu gamolan, dengan cara melakukan sosialisasi ke organisasi-organisasi yang bergerak dibidang social budaya dan bidang kebudayaan dan seni lainnya untuk membantu menyampaikan kepada masyarakat,dan juga sudah mulai menggalakan mata pelajaran alat music gamlona ke sekolah-sekolah, dan juga sering mengadakan pentas seni gamolan.
Entri ini ditulis dalam Uncategorized. Buat penanda ke permalink.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar