Trackbacks and Pingbacks
Leave a Reply
Get Free Updates
Get the latest and the greatest news delivered for free to your reader or your inbox:
RSS Feed Email Updates
RSS Feed Email Updates
-
Recent Articles
- Klarifikasi IAGI (Ikatan Ahli Geologi Indonesia) kepada anggota IAGI tentang penelitian Gunung Padang, dan seputar Piramida.
- Jejak Sungai Sunda.
- Lagi tentang Junghuhn: Pecinta Jawa
- Plume Tectonics dan Kisah Terdapatnya Intan
- Nyiragongo, Kongo: Kawah Lava Terbesar di Lembah Retakan Besar
- Gem-Lovers : Buruk Muka Cermin Jangan Dibelah (2)
- Buruk Muka Cermin Jangan Dibelah
- Kompleks Gunungapi Bawahlaut “Old Andesites” Tanjung Aan, Lombok
- Tentang Uranium
- BUMD MIGAS: ELIT PARTAI, ALUMNI BLBI, PENSIUNAN PSC/PTM *)
( The Legend of Jaya Naga )
By : Agung Arlan
Pada tahun 600 Masehi terdapat suku di pedalaman Sumatera Selatan yang di kenal dengan nama suku Sakala Bhra ( purba ) yang berarti Titisan Dewa , suku ini mendiami daerah pegunungan dan lembah bagian utara di sekitar gunung Seminung daerah perbatasan Sumatera Selatan dengan Lampung .
Suku ini terpecah menjadi dua kelompok masyarakat, yang pertama yang mendiami kawasan sekitar gunung Seminung dan turun ke lembah bagian utara sampai ke Lampung kemudian sebagian lagi turun ke daerah bawah dengan mengikuti aliran sungai di daerah huluan sumatera selatan yang kemudian di kenal dengan suku SAMANDA_DI_ WAY yang berarti orang yang mengikuti aliran sungai dan berakhir di Minanga ( Purba ), suku ini yang kelak kemudian asal mula suku Daya, Komering, Ranau,. ( Van Royen -1927 )
Minanga karena kedudukannya di tepi Pantai di tinjau dari berbagai segi memikul beban sebagai ibukota negara. Adapun bahasa yang mereka pergunakan adalah Bahasa Malayu Kuno atau Proto Malayu yang merupakan cikal bakal bahasa komering, didaerah uluan sumatera selatan.
Kerajaan tersebut di pimpin oleh seorang Raja yang hebat dan sakti , yang bernama JAYA NAGA kemudian oleh masyarakat pedalaman di beri Gelar DA-PUNTA-HYANG yang berarti Maha Raja yang Keramat , sekarang pun di daerah uluan sumatera selatan masih dapat kita kenal gelar Pu-Yang untuk orang yang kita anggap sesepuh maupun orang yang mempunyai kesaktian tinggi..
Kerajaan ini kemudian di kenal dengan negeri kedatuan SRIWIJAYA disebut juga dalam kronik ( tulisan ) di negeri china yaitu kerajaan Shi Li Fo Shih
Kerajaan ini setiap tahun nya mengirim utusan ke negeri china tercatat sejak tahun 670 s/d 742 yang pada saat itu di negeri China sedang berkuasa Dinasti Tang ( 618–907 ).
Disebut pada dalm satu tulisan di negeri China bahwa ada kerajaan dari laut china selatan yang selalu mengirim utusannya ke Tiongkok, kerajaan itu bernama Shi-Li-Fo-Shih yang di transeleterasikan menjadi Sriwijaya.
Pada tahun 671 Masehi seorang pendeta China yang bernama It-Tsing mengunjungi kerajaan ini dalam perjalanannya menuju India untuk memperdalam ajaran Budha.
It-Tsing menetap 6 bulan di Minanga ibukota kedatuan Sriwijaya untuk memperdalam bahasa Sansekerta , dengan bantuan Dapunta Hyang Sri Jaya Naga , It-Tsing Berangkat menuju tanah Melayu ( Jambi ) dan menetap selama 2 bulan sebelum melanjutkan perjalanan melalui Kedah terus keutara menuju India.
Dapunta Hyang Sri JayaNaga sangat di sayangi dan di sanjung oleh rakyatnya karena selain mempunyai kesaktian tinggi juga merupakan pemimpin yang arief , bijaksana dan adil terhadap rakyatnya. Jaya Naga juga seorang penganut Budha yang taat. Dengan Kesaktiannya ia dapat mengetahui dan membaca gerak gerik alam, langit, matahari,bulan, bintang , hawa, hujan, angin, batu, tanah dan hewan, sehingga penduduk kedatuan ini menganggap Jaya Naga merupakan sosok titisan Dewa diatas Brahmana yang merupakan perantara manusia dengan sang Ghaib yang diturunkan ke bhumi untuk menjaga dan melindungi pulau surga (Swarna Dwipa). Setiap kata yang diucapkannya merupakan petunjuk, setiap petuah dan nasehat menjadi adat dan istiadat, kebaikannya merupakan anugerah dan kebahagian bagi penduduk dan kemarahan beliau merupakan malapetaka.
Setiap daerah taklukkannya Jaya Naga selalu menunjuk pemimpin setempat yang di ambil dari Jurai Tua ( sesepuh masyarakat ) untuk menjadi Datu ( Ratu – pemimpin ) di daerahnya sendiri tetapi tetap terikat sebagai bagian dari daerah kedatuan Sriwijaya.
Jaya Naga juga mampu menyatukan beberapa rumpun suku yang ada di daerah pedalaman atau uluan sumatera selatan yang awalnya semua penduduk berasal dari tiga rumpun suku yang mendiami tiga gunung yang ada yaitu Gunung Seminung, Gunung Dempo dan Bukit Kaba, System pemerintahan inilah yang kelak menjadi asal mula system pemerintahan Marga yang ada di daerah uluan sumatera selatan.
Kedatuan Sriwijaya terkenal merupakan kerajaan yang makmur dengan hasil alamnya berupa kayu kamper, kayu gaharu, Pinang, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India. Selain itu juga kerajaan Sriwijaya merupakan pusat kebudayaan agama Budha Mahayana yang mana daerah ini merupakan perlintasan perjalanan para pendeta budha yang ingin memperdalam pertapaannya dari India ke China maupun sebaliknya, dan dalam perkembangannya kerajaan Sriwijaya merupakan pusat Studi agama Budha di kawasan Asia tenggara terutama daerah semenanjung Selat Malaka dan Selat Sunda terbukti dari catatan It-Tsing, kerajaan Sriwijaya mempunyai 1.000 pendeta Budha, pendeta Budha yang cukup terkenal dari Kedatuan Sriwijaya ini bernama Sakyakirti.
Penduduk kerajaan ini sebagian merupakan petani dan sebagian lagi merupakan saudagar yang melakukan perdagangan dengan India , Melayu dan China . Pedagang dari Tiongkok dagang ke Sriwijaya dengan membawa keramik ,porselein dan sutra untuk di tukarkan dengan emas, permata dan komoditas lain dari negeri ini yang merupakan tempat dimana komoditas penting pada jaman itu sampai dengan sekarang merupakan kekayaan alam pulau ini sehingga orang pada masa itu menyebut pulau ini dengan Pulau Surga ( Swarna Dwipa ) .
Kerajaan ini di aliri oleh sungai-sungai ( kanal-kanal) kecil yang memasuki perkotaan sehingga perahu merupakan sarana transportasi penting masyarakat kota tersebut sehingga kerajaan ini terkenal dengan armada kapal – kapal yang kuat dan rapi yang kemudian dapat menguasai seluruh kawasan pelayaran di selat Malaka dan selat Sunda .
Pada saat itu pelabuhan Palembang yang merupakan pintu masuk ke perairan sungai-sungai yang ada di uluan sumatera selatan banyak di kuasai perompak-perompak.
Kondisi seperti ini membuat kapal kapal yang berlayar di pantai timur pulau sumatera berlabuh di pelabuhan Melayu ( Jambi ) kemudian melanjutkan pelayaran tanpa memasuki pelabuhan Palembang.
Kisah perkembangan kerajaan Sriwijaya ini dimulai dari apa yang diutarakan dalam Prasasti Kedukan Bukit. Pada Hari kesebelas bulan terang bulan Wai Saka tahun 605, Dapunta Hyang Jayanaga berperahu kembali ke Minanga selepas melakukan pertapaan di gunung Seminung. Dalam pertapaannya Jaya Naga meminta restu dan memohon petunjuk dan kekuatan dari sang Ghaib di Gunung Seminung untuk menaklukkan tempat-tempat yang strategis agar dapat menguasai jalur pelayaran di Laut Cina Selatan di karenakan pada waktu itu Minanga ( ibukota kerajaan ) terletak dalam suatu teluk dimana sungai komering bermuara kurang strategis di pandang dari sudut perdagangan.
Untuk Mewujudkan cita – citanya tersebut Dapunta Hyang Sri Jaya Naga melakukan konsolidasi dengan daerah belakang yang satu rumpun yaitu rumpun Sakala Bhra (Purba). Kemudian Dapunta Hyang Sri Jaya Naga menaklukan daerah yang juga satu Rumpun tersebut yang terletak di sekitar bukit Pesagih di Hujung Langit Lampung Barat dan kemudian semua penduduk di ikat oleh Sumpah setia kepada Dapunta Hyang Sri Jaya Naga untuk menjadi bagian dari kerajaan Sriwijaya. ( Prasasti Hujung Langit – Lampung Barat )
Sepulang dari penaklukan daerah belakang makin kuatlah pasukan kerajaan Sriwijaya yang di dukung oleh pasukan tambahan dari satu rumpun, pasukan atau laskar sriwijaya terkenal akan keberanian, dan kekuatannya.
Dapunta Hyang Sri Jaya Naga mulai melakukan expansi pertamanya yaitu dia harus menaklukan Tanjung Palembang dan menunjuk Mukha Upang ( Kedukan Bukit ) di daerah palembang sebagai titik temu. Palembang pada jaman itu merupakan kota di pinggir pantai di mana bukit Sigiuntang merupakan tanjung palembang yang menjorok ke laut. Tempat ini adalah dataran tinggi yang merupakan mercu suar atau tempat pintu masuk ke tanjung Palembang yang merupakan akses laut menuju ke sungai sungai yang ada di sumatera.selatan.
Pada peta pantai timur Sumatra purba di tepi pantai timur teluk purba terdapat 2 tanjung yang menjorok jauh kearah laut , kearah utara dengan jambi di ujungnya, dan yang timur menjorok kearah tenggara dengan Palembang berada diujungnya. Tanjung Palembang terbentuk oleh Bukit Siguntang sedang di selatan bukit ini terdapat teluk yang menjorok dalam lagi di mana sungai komering bermuara.
Kemudian Dapunta Hyang Sri Jaya Naga membawa 20.000 ( Dua Puluh Ribu ) pasukannya dengan 1.312 berjalan kaki melalui daratan atau hutan belantara dan sebagian lagi membawa perahu mengikuti perairan. Selama dalam perjalanan terjadilah pertempuran – pertempuran kecil yang tidak terlalu berarti yang merupakan perlawanan dari daerah daerah yang di lintasi oleh laskar Kerajaan Sriwijaya.
Pada tanggal 16 Juni 683 Masehi atau sekitar tujuh hari perjalanan sampailah rombongan pasukan yang di pimpin Dapunta Hyang Sri Jaya Naga di Muka Uphang. Perjalanan pasukan Sriwijaya mendapat kemenangan besar sehingga memberikan kepuasan bagi Sang Raja Dapunta Hyang Sri Jaya Naga, kemudian Sang Raja memerintahkan untuk membuat bangunan atau rumah ( barak ) untuk tempat para laskar Sriwijaya yang berjumlah 2 laksa laskar Sriwijaya , untuk mengabadikan kemenangan tersebut di pahatlah Prasati Kedukan Bukit .
Setelah Mengadakan konsolidasi di daerah Mukha Upang ( Kedukan Bukit ) dan kemudian menguasai pelabuhan palembang , maka “ pada hari kedua bulan terang bulan Caitra tahun 606 Saka ( 23 Maret 684 M ) Dapunta Hyang Sri Jaya Naga sangat puas akan kesetiaan rakyat setempat. Oleh karena itu di bangunlah Taman Sriksetra dengan pesan agar semua hasil yang di dapat di dalam taman ini seperti Nyiur, Pinang, Enau, Rumbia dan semua yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, demikian pula halnya dengan tebat dan telaga agar dapat di pelihara sehingga berguna bagi sekalian makhluk. Untuk itu Dapunta Hyang Sri Jaya Naga memohon restu agar ia selalu sehat sentosa terhindar dari para penghianat yang tidak setia, termasuk para abdi bahkan oleh istri-istri beliau. Karena beliau tidak akan menetap lama beliau menambah pesannya : “ Walaupun dia tidak berada di tempat dimanapun dia berada janganlah hendaknya terjadi Curang, Curi, Bunuh dan Zinah di situ. Akhirnya di harapkan doa agar beliau mendapatkan Anuttara bhisayakasambodhi “
( Parasasti Talang Tuo )
Setahun kemudian terjadilah pemberontakan yang di pimpin oleh Perwira Lokal yaitu Kandra Kayet sehingga menimbulkan korban termasuk salah satu Panglima Perang Sriwijaya terbunuh yang bernama Tan Drun Luah, walaupun demikian Kandra Kayet yang gagah perkasa dapat di di bunuh oleh Dapunta Hyang Sri Jaya Naga dan mati sebagai penghianat.
Untuk mengingat hal ini maka di buatlah suatu prasasti persumpahan untuk mengikat setiap para pejabat lokal yang ada di daerah taklukan agar dapat tetap setia kepada Dapunta Hyang Sri Jaya Naga kalau tidak maka akan terkutuklah dan di makan sumpah ( Prasasti Telaga Batu ).
Batu persumpahan yang dimaksud antara lain berbunyi :
- “……. kamu sekalian, seperti kamu semuanya, anak raja, bupati, panglima Besar,…….hakim pengadilan……kamu sekalian akan dimakan sumpah yang mengutuk kamu. Apabila kamu sekalian tidak setia kepada kami kamu akan dimakan sumpah. ( 1-6 )”.
- “ Apabila kamu berhubungan dengan pendurhaka yang menghianati kami …………orang yang tidak tunduk kepada kami serta kedatuan kami kamu akan di bunuh oleh sumpah kutuk ini. ( 7-8 ) “.
- “ Apabila kamu menabur emas permata untuk meruntuhkan kedatuan kami atau menjalankan tipu muslihat………..dan apabila kamu tidak tunduk kepada negara kedatuan kami maka terkutuklah kamu akan dimakan dibunuh sumpah kutuk. ( 11-12 ) “.
- “ Demikian pula apabila kamu melawan kepada kami di daerah-daerah perbatasan negara kedatuan kami kamu akan dimakan, di bunuh. (13-14).
- “ ……lagi pula kami tetapkan pengangkatan menjadi datu dan mereka yang melindungi sekalian daerah negara kedatuan kami putra mahkota, putra raja kedua, dan pangeran lain yang didudukan dengan pengangkatan menjadi datu, kamu akan dihukum apabila kamu tidak tunduk kepada kami ( 19-20 )”.
Secara Geografis palembang adalah tempat yang strategis untuk menguasai lalu lintas pelayaran di Laut China Selatan. Namun kebanyakan pada waktu itu kapal – kapal berlayar singgah di kerajaan Melayu ( Jambi ) yang juga merupakan pelabuhan strategis di pantai timur sumatera kemudian kapal kapal tersebut melanjutkan perjalanannya ke utara tanpa singgah lagi di pelabuhan palembang.
Melihat kondisi seperti ini Dapunta Hyang Jaya Naga berencana untuk menaklukan kerajaan Melayu ( Jambi ) untuk di jadikan wilayah kekuasaan kedatuan Sriwijaya.
Dapunta Hyang Sri Jaya Naga bersama pasukannnya segera menuju Melayu, yang dari semula tanah Melayu sudah di rencanakan untuk di tundukkan.
Pada tahun 685 di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang Sri Jaya Naga, Kerajaan Melayu takluk di bawah imperium Sriwijaya. Penguasaan atas Melayu yang kaya emas telah meningkatkan prestise kerajaan. Di abad ke-7, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan di Sumatera dan tiga kerajaan di Jawa menjadi bagian imperium Sriwijaya.
Untuk meneruskan perjalanan ke Selatan dengan tujuan akhir adalah bumi Jawa tentu saja Melayu harus segera pula di tinggalkan. Peristiwa pemberontakan Kandra Kayet terus saja terbayang oleh sri baginda dan ini di jadikan sebagai contoh oleh Sri Baginda Dapunta Hyang Sri Jaya Naga kepada setiap pejabat lokal bahwa setiap penghianatan, walau di lakukan oleh seorang perkasa sekalipun dapat di tumpas . kemudian penduduk kerajaan Melayu pun di ikat dengan Sumpah maka di pahatlah prasasti Karang Brahi.
Dapunta Hyang Sri Jaya Naga kembali berangkat dengan melalui lautan berarti harus melalui selat Bangka . Oleh karena itu kerajaan Bangka harus pula di tundukkan lebih dahulu. Setelah menaklukan kerajaan Bangka, Dapunta Hyang Jaya Naga bersiap melanjutkan perjalanannya ke Bumi Jawa, namun sebelum keberangkatan Sri Baginda, penguasa lokal dan rakyatnya harus di beri peringatan dan di ikat dengan persumpahan untuk selalu setia kepada Dapunta Hyang Sri Jaya Naga. Demikianlah pada akhirnya : “ Pada hari pertama bulan terang Waiseka tahun 608 Saka atau tahun 686 Masehi Sri Baginda Dapunta Hyang Sri Jaya Naga meninggalkan Batu Prasasti Persumpahan yang kita kenal sebagai Parasasti Kota Kapur dan segera menuju Bumi Jawa yang tidak mau tunduk kepada Sriwijaya.
Dalam perjalanan Sri Baginda menuju Bumi Jawa masih ada daerah yang berdiri sendiri di pantai timur Sumatera Bagian Selatan, untuk kepentingan keamanan penguasaan laut selatan, kerajaan itu harus pula di tundukan. Kerajaan itu sebenarnya berasal dari satu rumpun wangsa Sakala Bhra. Kerajaan itu adalah kerajaan Ye-Po-Ti ( Way Seputih ) di lampung Selatan. Sama dengan peristiwa- peristiwa lainnya, setiap beliau meninggalkan daerah – daerah yang rawan pemberontakan harus diadakan sumpah setia terlebih dahulu. Sumpah tersebut terpahat dalam Prasasti Palas Pasemah.
Dari Way Seputih Rombongan langsung menuju Bumi Jawa, Dapunta Hyang Sri Jaya Naga mengutus salah Satu Panglima terbaiknya yang juga merupakan kerabat dekat kerajaan yaitu Dapunta Sailendra untuk memimpin pasukan Sriwijaya menuju Bumi Jawa. Dari data yang ada tampaknya mereka menuju Jawa tengah bagian utara.
Pada saat inilah di nyatakan oleh berita di neger China ( Dinasti Tang ) bahwa kerajaan Sriwijaya terpecah menjadi dua bagian masing- masing mempunyai pemerintahan sendiri. ( Kronik Dinasti Tang ).
Pada periode perkembangan kerajaaan Wangsa Sailendra di Jawa Tengah harus melaksanakan perintah Sri Baginda Dapunta Hyang Sri Jaya Naga untuk membangun candi di Ligor ( Muangthai ) candi tersebut baru selesai tahun 775 di resmikan oleh raja Wisnu dari Wangsa Sailendra.
Sementara itu Dapunta Hyang Sri Jaya Naga kembali ke Minanga untuk melanjutkan memerintah Kedatuan Sriwijaya yang menguasai lalu lintas perdagangan di Selat Malaka dan Laut China Selatan .
Berdasarkan prasasti Kota Kapur, Kerajaan Sriwijaya menguasai bagian selatan Sumatera hingga Lampung, mengontrol perdagangan di Selat Malaka, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan.
akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah pengaruh Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Budha Sailendra di Jawa Tengah berada di bawah dominasi Sriwijaya.
Masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.
Di akhir Abad ke 7 ibukota Minanga telah mengalami malapetaka hingga Silap atau hilang secara misterius di telan bumi. Keadaan ini membuat Sri Baginda Dapunta Hyang Jaya Naga bersedih sehingga mengasingkan diri ke Gunung Seminung untuk bertapa sampai akhir hayatnya.( Legenda Minanga Sigonong-Gonong )
Di angkat dari Buku :
Periodisasi Kerajaan Sriwijaya
Karangan : H.M. Arlan Ismail, SH ( 2003 )
Nama Minanga ( Komering Ulu Sumatera Selatan ) sebagai nama tempat sudah ada semenjak sebelum Van Rokel membaca prasasti kedukan bukit tahun 1924. Oleh karena itu nama Minanga di Komering Ulu itu bukanlah mencontoh kebesaran nama dalam prasasti kedukan bukit.
Ini terlihat dalam suatu piagam perjanjian tahun 1629 dengan mamakai tulisan Arab-Melayu oleh kesultanan Palembang yang pada waktu itu di berkuasa Sedaing Kenayan mengenai tapal batas Marga Minanga. Piagam tersebut masih tersimpan sebagai dokumen Marga Semendawai Suku III.
Minanga yang kita identifikasikan sebagai ibukota Sriwijaya sekarang adalah merupakan nama dua buah desa yaitu desa Minanga Tengah dan desa Minanga Besar .
Desa Minanga sekarang terletak di daerah rawa-rawa dataran rendah. Daerah yang agak tinggi permukaannya mengelilingi desa-desa tersebut yaitu di sebelah hulu sungai disekitar daerah Betung ( dahulu bernama Kedaton ) di sebelah barat ada dataran tinggi yang membentang sampai ke batas Kedaton dan sungai Ogan. Jadi bahwa kawasan Minanga berada di antara dua daerah yang bernama Kedaton yang berada di pedalaman Sumatra Selatan di pinggir Sungai Komring. Ada yang menarik tentang nama-nama tempat sebagai petanda monumen sejarah yang terdapat di Desa Minanga Komring Ulu dengan menamai kampungnya dengan nama-nama yang memberi kesan seolah-olah tersebut ada bekas pusat suatu pemerintahan antara lain :
1. Kampung Ratu — Menggambarkan komplek Perumahan para Raja-raja
2. Kampung Kadalom — menggambarkan adanya kompleks perkampungan para abdi dalam.
3. Kampung Balak — berasal dari kata Bala atau Laskar kedaton
4. Kampung Binatur — berasal dari kata Batur yang berarti pelayan keraton
5. Pasar Malaka — yang sekarang merupakan ladang penduduk yang di yakini oleh penduduk setempat dahulunya merupakan tempat orang memperdagangkan barang dagangan dari Malaka.
Nama nama tersebut sudah ada sama tuanya dengn nama Minanga komring ulu yang sudah ada sejak sebelum tahun 1629 Masehi
Kemudian di kawasan Minanga ini banyak sekali kita jumpai Makam Kuno ( makam keramat ) lebih kurang terdapat 15 makam kuno sepanjang uluan sungai komring yang di kenal dan di percayai oleh penduduk setempat merupakan makam Raja-Raja maupun panglima perang jaman dulu yang menjadi keramat bagi desa desa sekitar.
Antara lain :
- Pu-Hyang ( Puyang ) Ratu Kadi yang berarti Pangeran Mahkota
- Pu-Hyang ( Puyang ) Naga Brinsang yang berarti Raja Naga Ajaib.
- Pu-Hyang ( Puyang ) Kai Alam Basa Berarti Raja Alam berasal dari Dewa.
- Pu-Hyang ( Puyang ) Kai Randah ( Randuh ) yang berarti Raja yang dapat berpndah- pindah tempat.
- Pu-Hyang ( Puyang ) Kai Ranggah yang berarti raja banyak Cahang.
- Pu-Hyang ( Puyang ) Marabahu ( diucapkan Marbau ) yang berarti Raja yang berkali-kali mati dan hidup kembali.
- Tan Junjungan ( Puyang Tan Junjungan ) yang berarti panglima yang penuh sanjungan.
- Tan Adi ( Puyang Tan Adi ) yang berarti Panglima Utama
- Tan Aji ( Puyang Tan Aji ) yang berarti Panglima Raja
- Tan Mandiga ( Puyang Tan Mandiga ) yang berarti Panglima yang ampuh.
- Tan Salela ( Puyang Tan Salela ) yang berarti Panglima yang menarik hati
- Tan Robkum ( Puyang Tan Robkum ) yang berarti Panglima yang tahan rendam dalam air.
- Tan Hyang Agung ( Puyang Tihang Agung ) yang berarti Panglima dewa Agung
- Tan Minak Batara ( Puyang Minak Batara ) yang berarti panglima turunan Raja
- Tan Mahadum ( Puyang Mahadum ) yang berarti panglima penyelamat.
Jarak Minanga dengan Pantai timur sekarang jika di tarik lurus horizontal lebih dari 100 Km. Karena Minanga berada di pinggir sungai yang sekarang di kenal dengan sungai Komring maka penduduknya di sebut orang Komring. W.V. Van Royen dalam bukunya “ De Palembang Sche Marga ( 1927 ) “ tidak menyebut orang komring tetapi “ Jelma Daya “ . Nama sungai Komring sendiri diambil dari nama seorang yang berasal dari India yang bernama Komering Singh ,makam nya terdapat di sebelah hulu desa Muara Dua , sungai yang mengalir mulai dari makam tersebut tepatnya mulai dari Muara Selabung yang mengalir ke hilir sampai muara Plaju di sebut sungai Komring .
Menurut sejarah Kabupaten Ogan Komering Ulu ( 1979 ) Jelma Daya kelompok pertama yang turun dari gunung Seminung melalui Danau Ranau kemudian seterusnya menelusuri sungai Komring sampai di Gunung Batu adalah kelompok Samandaway. Samandaway berasal dari kata Samanda Di Way yang berarti mengikuti aliran sungai.
Pada tahun 1974 telah ditemukan sebuah arca Budha yang terbuat dari Perunggu ukuran tinggi ±35 cm, tebal 11 cm di temukan 15 km dari desa Minanga yang di temukan tidak sengaja oleh petani setempat yang kemudian menjadi barang koleksi pribadi mantan bupati OKU pada saat itu.
Minanga hanyalah monumen sejarah dalam bentuk nama tempat, tapi kawasan Minanga purba adalah begitu luas yaitu paling sedikit sebesar Marga Semendawai Suku III dan di sebelah barat berbatasan dengan daerah Kedaton ( Ogan Ulu Sumatera Selatan ).
Karena langka nya peninggalan Sriwijaya dalam bentuk benda kepurbakalaan di manapun termasuk di daerah Minanga ( Komring Ulu sumatera selatan ) maka alternative lain yang harus di cari identitasnya ke dalam nilai-nilai Budaya dimana salah satu aspek budaya yang penting dan masih menonjol adalah Bahasa . :
“ Bahasa adalah alat utama Kebudayaan. Tanpa Bahasa kebudayaan tidak mungkin ada. Kebudayaan tercermin dalam Bahasanya. ( S Gazalba 1966 : 102 ) “
Seperti di utarakan di muka bahwa rumpun Seminung mempunyai bahasa dan tulisan sendiri. Orang Rumpun Seminung tergolong suku Malayu Kuno ( Proto Malayan Tribes ), bahasanya banyak terdiri dari bahasa Malayu Kuno , bahasa Jawa Kuno dan bahasa Sansekerta.
Bahasa Prasasti Kedukan Bukit, Talang Tuo, Telaga Batu, dan prasasti lainnya dalam periode Shi-Li-Fo-Shih ( 670 s.d 742 Masehi ) adalah bahasa Malayu Kuno dan kausa katanya banyak yang tertinggal dalam bahasa Rumpun Seminung ( Komering, Daya,Ranau, Lampung ).
Sebagai perbandingan kita mengambil contoh adalah prasasti Telaga Batu : menurut bacaan dan terjemahan Prof.Dr.J.G. de Casparis dalam bukunya “ Selted inscription from the 7 th to the 9 th century A.D ( 1956 )” . Prasasti itu terdiri dari 28 baris dengan jumlah ±709 kata-kata yang sudah terbaca, dari kata-kata tersebut terbentuk ±311 bentukan kata yang tidak kurang dari 50 kata yang terbukti di pakai dalam bahasa Komering ( Rumpun Seminung ). Antara lain sebagai berikut :
Bahasa Sriwijaya Bahasa Komering Indonesia
( Prasasti Melayu Kuno )
- Awai - Awai - Memanggil
- Dangan – Jongan - Cara
- Hulun – Hulun - Orang asing
- Inan - Inan - Biarkan
- Katahuman - Katahuman - Tertangkap tangan
- Labhamamu – La(m)bahanmu - Tempat tinggalmu
- Mulam - Mulang - Kembali
- Mancaru - Macuaru – Mangacau/menghianat
- Muha - Muha – Angap ringan / boros
- Muah - Muah - Lagi / Masih ada
- Marpadah/Padah – Mapadah/Padah-Tanggulangi / Andalan
- Pira - Pira - Berapa
- Puhawam - Puhawang - Pawang / Peramal
- Ri - RI - Bersama
- Sarambat - Sarambat - Setangkai
- Talu - Talu - Kalah / tunduk
- Tapik/Manapik – Tapik/Manapik – Menghindar/elak/serang
- Tuhan - Tuhan - Milik
Tidak teridentifikasinya Minanga Komring Ulu sebagai ibukota Sriwijaya selama ini di karenakan :
1. Para ahli sejarah tidak mengetahui bahwa ada Minanga di daerah Komering Ulu Sumatera Selatan yang berada di Muara Sungai di tepi Pantai pada waktu itu, sehingga orang mencari Minanga di luar Sumatra Selatan di dasarkan kepada semata-mata kesamaan bunyi dan penggantian huruf.
2. Penelitian Geomorfologi semata-mata di tujukan hanyalah penelitian kedudukan Jambi dan Palembang apakah berada di tepi pantai atau tidak pada jaman Sriwijaya
3. Minanga dalam Prasasti kedukan bukit di satukan dengan kata Tamvan sebagai Toponim (nama tempat ), Minanga yang tersebut dalam prasasti kedukan bukit di tafsirkan sebagai daerah yang ditundukkan oleh sriwijaya hanya semata-mata untuk memperkuat Palembang sebagai ibukota Kerajaan..
4. Para ahli sejarah hanya mau mengakui sesuatu atau mengarahkan penelitian pada suatu tempat kalau sudah ada bukti arkeologis di ketemukan lebih dahulu, sedangkan sumber sejarah bukan terletak kepada benda arkeologis semata, tetapi juga dalam bentuk ciri-ciri budaya, bahasa dan lain-lain peninggalan kebudayaan masa lampau yang dapat di jadikan petunjuk awal.
5. Karena tidak di ketahui bahwa Minanga ada di Komering Ulu Sumatera Selatan maka ia tersisihkan dari obyek penelitian sehingga tidak di temukan benda-benda yang bersifat arkeologis. Benda-benda arkeologis itu hanya di tunggu atau di harapkan untuk di ketemukan secara kebetulan seperti yang kita alami sekarang.
untuk intro saya mengatakan tahun 600 masehi bukanlah awal dari penyebaran dari suku Sakala Bhra(Purba) tetapi untuk menekan adanya suatu kesatuan Rumpun antara penduduk Komering Ulu dengan masyarakat Lampung paminggir….mengapa saya katakan Purba karna yg dimaksud disini adalah bukan suku Sakala Bhra yg ada sekarang….Sakala Bhra yg sekarang terbentuk sejak terjadinya Perang Abung sekitar tahun 1400 masehi….
Mengapa Komring kurang terkenal dibanding dgn Lampung dikarekan memang Komering bukanlah merupakan SUKU…..Nama Komring sendiri diambil dari nama seorang saudagar buah Pinang yang berasal dari India yang bernama Komring Singh , makam ( kuburan ) nya terdapat di sebelah hulu desa Muara Dua, sungai yang mengalir mulai dari makam tersebut tepatnya mulai dari pertemuan sungai Selabung dengan Wai Saka yang mengalir ke hilir sampai muara Plaju di sebut sungai Komring dan penduduk yang tinggal disepanjang aliran sungai ini disebut orang Komring ,tetapi tidak semua penduduk yang mendiami sungai komring di sebut orang komring, aliran sungai Komring sampai di Gunung Batu, penduduknya terbagi dalam 2 ( dua ) Kewedanaan Muara Dua dan Kewedanaan Martapura , sebagian penduduk kewedanaan Muara Dua di sebut Jelma Daya bukan Orang Komring walaupun mereka tinggal di pinggir sungai Komring sementara itu penduduk yang termasuk kewedanaan Martapura di sebut orang komring.
didalam tulisan saya tidak mengatakan bahasa Sriwijaya adalah Bahasa Komring, tetapi yang saya maksud adalah Bahasa Sriwijaya ( Shi-Li-Fo-Shih) menggunakan bahasa Melayu Kuno dimana bahasanya masih dipakai oleh masyarakat Rumpun Seminung …antara lain adalah Bahasa Komring, Daya, Ranau, dan Lampung Peminggir…secara geologis seperti yg di tuturkan oleh Pendeta It-Tsing bahwa ibukota Sriwijaya(Shi-Li-Fo-Shih) berada di tepi Pantai dan dimuara sebuah Sungai ….dari sini beliau menuju kedah dan singgah di Melayu( jambi) harus melalui Palembang yang mana pada masa itu banyak perompak di pelabuhan Palembang sehingga It-Tsing meminta bantuan Dapunta Hyang Jayanaga untuk melewati pelabuhan Palembang dan singgah di Kerajaan Melayu(jambi) sebelum melanjutkan perjalanan menuju ke Utara…..dari Uraian It-Tsing diatas dapatkita Simpulkan bahwa dari Ibukota Sriwijaya menuju Jambi harus melalui Palembang….berarti ibukota Sriwijaya berada di Uluan Sumatera Selatan di Muara Sebuah Sungai yang Besar dan di tepi Pantai(Teluk Palembang) yang kami identifikasikan adalah MINANGA ( Purba )….Minanga (Purba ) sendiri begitu luasnya kalo kita perbandingkan dengan sekarang kira2 sebesar daerah Semendawai Suku III ( Komring Ulu sumatera Selatan )…..btw thx atas responnya…
Saya tertarik dengan penyebutan “Minanga”. Di Toraja Utara di wilayah Sa’dan terdapat daerah yang disebut Minanga yang dalam kisah lisan turun temurun dikisahkan sebagai salah satu wilayah asal usul To Manurung (Titisan Dewa/Khayangan).
Mengingat kami memiliki pusaka keris (Toraja:gayang) yang memiliki motif yang sangat bertolak belakang dengan kebudayaan motif toraja.
Apakah ada korelasinya ?
Atas pencerahannya, saya ucapkan terima kasih.
untuk itu kita harus mengetahui dulu apa itu orang lampug.., hingga sekarang tak ada satupun penjelasan mengenai orang lampung itu apa, berasal dari kata mana , banyak sumber yang berbeda beda pendapat…, secara garis besar lampung dibagi 2 yaitu pesisir dan pepadun, pesisir inilah yang mempunyai corak bahasa dan budaya yang mirip dengan komering adapun pepadun mempunyai corak bahasa dan budaya yang sangat berbeda jauh dengan komering, nah TO-Lang P’hwang / Kerajaan tulang bawang di tepi sungai tulang bawang ini adalah bagian dari pepadun yang mempunyai bahasa dan budaya yang berbeda jauh dengan komering .
mengenai kenapa orang pesisir dan pepadun sepakat sebagai orang lampung saya pribadi melihatnya sebagai intervensi penjajah belanda yang mengkotak kotak kan suku, memecah belah dengan tujuan melemahkan persatuan, banyak sumber sejarah tentang lampung berasal dari peraturan atau pertemuan yang di fasilitasi oleh penjajah belanda, secara sederhana saja mengapa pepadun dan pesisir yang mempunyai bahasa dan budaya berbeda bisa menjadi satu suku ? adakah penjelasan (bukan penjelasan dari hikayat atau cerita rakyat) yang tepat darimana kata LAMPUNG ? atau suku LAMPUNG ?
umumnya jika suatu suku yang tua keberadaannya akan terdapat catatan tertulis atau peninggalan benda atau bangunan yang membuktikan keberadaannya, utk didaerah lampung justru peninggalan yang ada tidak merujuk pada kata kata Lampung justru kerajaan lain
kata kata lampung banyak di temukan di referensi2 penjajah belanda
di daerah lampung sendiri ada beberapa desa komering yang menuturkan keberadaan mereka dilampung karena dulunya menuturkan tugas keprajuritan seperti di menggala yang mengakui bahwa nenek moyang mereka ditugaskan utk menumpas gerombolan bajak laut di menggala.
sampai pada suatu ketika saya ditemui oleh seseorang yg menjelaskan secara singkat keberadaan kerajaaan (kantor/pusat pemerintahan/istana) sriwijaya di masa lampau
namun hal ini perlu kajian dan penelitian yg lebih mendalam dari berbagai aspek dan ilmu pengentahun dan teknologi tentunya, sebenernya informasi ini sdh lama saya ketahui namun untuk membuktikannya harus pemerintah dan instansi terkait mencari jalannya….rahasia ini sdh saya simpan belasan tahun… mohon nanti pada temen2 mohon di bantu apabila bagaimana situs yg saya sebutkan ini bisa diteliti oleh pakar arkeologi dan lain2.
Informasi yg saya dapat letak pemerintahan atau istana kerajaan srwijaya itu menurut orang yg menjumpai saya adalah di palembang.
tepatnya di daerah sekitar stadion bumi srwijaya dan sport hall palembang, di lokasi inilah kerjaan sriwijaya yg sebenernya
oleh karena sdh berabad-abad lamanya lokasi ini akhirnya mengalami erosi dan lain sebagainya, pendangkalan dan lain sebgainya maka lokasi yg sebenarnya tertutup berabad2 silam, silahkan bila ada instansi atau peneliti, silahkan diteliti dari segi letak geografis dan lain sebagainya saya serahkan kepada yg ahlinya karena menurut informasi parit besar yg ada di sekitar kompleks stadion olah raga itu dulunya adalah sungai, karena perubahan alam lama2 pendangkalan dan mengecil bayangkan berabad silam…
dan coba kita menelaah dan menganalisa dg situs2 yg ada di sekitarnya yg telah di temukan,seprti di bukit siguntang, di daerah sekitar tangga buntung dan tempat2 makam beradius tidak terlalu berjarak jauh (kalo dulu termasuk agak jauh)dari lokasi pemerintahan/istana sriwijaya (stadion olah raga yg sekarang) sebenernya semua itu saling link or berhubungan dan perlu di ingat palembang tempo dulu semuanya sungai lihat sketsa yg digambarkan oleh org belanda saya lupa namanya
nah saya hanya bisa menyampaikan informasi ini, untuk selanjutnya mohon bagi teman2 dan instansi yg terkait, atau bila perlu ada arkeolog luar negri yg mau meneliti lebih lanjut itu yg kita harapkan, saya hanya dapat sepotong informasi itu, dan mengenai pusaka kerajaan sriwijaya dan singgasana dan lainnya menurut informasi yg saya dapat ketika sriwijaya runtuh sengaja ditenggelamkan ke sungai musi (ini perlu penelitian lagi)….
mudah2an informasi ini bisa berguna esok hari….
Sedangkan dipedalaman lampung belum ada penghuninya (rimba).. Maka bisa dilihat peninggalan di daerah situs batu bedil talang padang, situs pugung raharjo dll..
Baru pada penyebaran kedua terjadi setelah keturunan lampung asli bercampur dengan pendatang dari pagaruyung yang menyebarkan islam baru penyebarannya kedaerah2 pedalaman lampung sekarang, dan setelah itu baru berdiri adat pepadun (tahun 1700-an).. Sedangkan adat saibatin sudah sejak dulu dari nenek moyang di sekala berak sebelum islam..
Sedangkan pasukaan 40 orang dari lampung tersebut selain diambil dari skala berak, diambil dari keturunan lampung yang ada di pesisir selatan dan daerah tulang bawang yang keturunan komering.. Jadi orang lampung dulu tidak keberatan dia disebut dari sekala berak atau tulang bawang, ya asalnya nenek moyang mereka dari sekala berak juga (adat saibatin = sai-indra/sailendra = satu raja), sebelum adat pepadun berdiri..
Sedangkan adat saibatin sekarang unsur hindunya telah tehapus oleh unsur islam akibat pengaruh kepaksian pak sekala berak islam dan keratuan darah putih.. sehingga di lampung pesisir selatan tidak mengenal yang namanya pepadun, karena mereka keturunan lampung asli buay tumi.. sedangkan diskala berak dikenal pepadun karena memang mereka yang pertama kali menebang pohon lemasa kepampang yang dijadikan pepadun..
Jika mengetahui buay-buay dipesisir selatan hampir tidak dapat dikenali karena mereka termasuk buay-buay tua seperti : buay tumi, babok, khandu, sakha, tengklek, hulu dalung, hulu tutung, mikhadatu, tambakukha dll.. Tetapi hanya keturunan buay tumi di krui dan komering yang bisa mengenalinya..
Sejarah lampung tidak berhenti sampai di ratu dipuncak, ratu dipugung, ratu dibalau dan ratu pemanggilan, tetapi menyambung dengan sejarah kerajaan galuh-pejajaran, mataram kuno dan sriwijaya dll.. Yang silsilahnya bertemu di kerajaan champa/kamboja (RAJENRA SAILENDRA).. Hanya saja kita tidak banyak tahu dan gak mau tahu.. Karena semau kerajaan di indonesia saling berhubungan saudara antar raja-rajanya..
Sehingga dikenal dalam kitab jawa : SIJAWA RATU MAJAPAHIT, SIPASUNDAYANG RATU PAJAJARAN DAN SILAMPUNG RATU BAKA (maksudnya RATU SAKALA BAKA wangsa Sailendra)..
Sedangkan dipedalaman lampung belum ada penghuninya (rimba).. Maka bisa dilihat peninggalan di daerah talang padang, pugung raharjo dll..
Baru pada penyebaran kedua terjadi setelah keturunan lampung asli bercampur dengan pendatang dari pagaruyung yang menyebarkan islam baru penyebarannya kedaerah2 pedalaman lampung sekarang, dan setelah itu baru berdiri adat pepadun (tahun 1700-an).. Sedangkan adat saibatin sudah sejak dulu dari nenek moyang di sekala berak sebelum islam..
Sedangkan pasukaan 40 orang dari lampung yang membantu banten untuk mengalahkan pajajaran, selain diambil dari skala berak, diambil dari keturunan lampung yang ada di pesisir selatan dan daerah tulang bawang yang keturunan komering.. Jadi orang lampung dulu tidak keberatan dia disebut dari sekala berak atau tulang bawang, ya asalnya nenek moyang mereka dari sekala berak juga (adat saibatin = sai-indra/sailendra = satu raja), sebelum adat pepadun berdiri..
Sedangkan adat saibatin sekarang unsur hindunya telah tehapus oleh unsur islam akibat pengaruh kepaksian pak sekala berak islam dan keratuan darah putih.. sehingga di lampung pesisir selatan tidak mengenal yang namanya pepadun, karena mereka keturunan lampung asli buay tumi.. sedangkan diskala berak dikenal pepadun karena memang mereka yang pertama kali menebang pohon lemasa kepampang yang dijadikan pepadun..
Jika mengetahui buay-buay dipesisir selatan hampir tidak dapat dikenali karena mereka termasuk buay-buay tua seperti : buay tumi, babok, khandu, sakha, tengklek, hulu dalung, hulu tutung, mikhadatu, tambakukha dll.. Tetapi hanya keturunan buay tumi di krui dan komering yang bisa mengenalinya..
Sejarah lampung tidak berhenti sampai di ratu dipuncak, ratu dipugung, ratu dibalau dan ratu pemanggilan, tetapi menyambung dengan sejarah kerajaan galuh-pejajaran, mataram kuno dan sriwijaya dll.. Yang silsilahnya bertemu di kerajaan champa/kamboja (RAJENRA SAILENDRA).. Hanya saja kita tidak banyak tahu dan gak mau tahu.. Karena semau kerajaan di indonesia saling berhubungan saudara antar raja-rajanya.. Sehingga dikenal dalam kitab jawa : SIJAWA RATU MAJAPAHIT, SIPASUNDAYANG RATU PAJAJARAN DAN SILAMPUNG RATU BAKA (maksudnya RATU SAKALA BAKA wangsa Sailendra)..
Sedangkan Hubungannya dengan Suku Lain (Hubungan Persaudaraan) terlihat dari bahasanya :
- LAMPUNG -BATAK : Bulung (daun), Biding (pinggir), dll..
- LAMPUNG – MELAYU : Buwok (rambut), Sudu (sendok), Pun – Tun (orang yg dimuliakan), dll..
- LAMPUNG – SUNDA/JAWA : Nga-Lampura (dibaca kh) -Hampura (mohon maaf), Bingi – Wengi (Malam), Mengan -Mangan (Makan), Uyah -Uyah (Garam), Kanca – Konco (saudara), Awi-Awi (bambu), Dalom – Dalem (gelar bangsawan), luwih – lewih (kaya/lebih), Mising – Ngising (BAB), dll..
Bahkan istilah PANG LIPANGDANG dan TANDANG MIDANG ada juga dalam bahasa Champa/Kemboja kuno.. dan kata Api (apa) dalam bahasa lampung disana disebut Apei (apa) juga…
Kalau Kesultanan Palembang Darusalam masih bisa dirunut. dari 1821 saya mempunyai silsilahnya. kebetulan saya adalah generasi ke 7 Panglima Batu Api, jika ada saudara yang ingin Siarah makam keramat puyang kita terletak di Desa Tulung Selapan. interaksi boleh email saya di primasari.syam@yahoo.com
terima kasih Geologi or id jasa anda besar untuk meluncurkan diskusi ini
Pada mau ngaku Tua ya??
Hayo ngaku..
Belajar Sejarah makanya Jangan sepotong2,
wawasan haruslah Luas..
Coba dengarkan juga pendapat Saudara kita Putra Pasemah..
Jgan sibuk ngebanggain Etnik sendiri..
Yang satu Komring gk mau ngaku Lampung..
Yang Lampung juga gk mau ngalah, biarin aja kalau Komring gk mau ngaku mah..
Fokus..Fokus..
Coba dengar juga pendapat saudara2 kita dari Bengkulu dan Pagar Alam, Pasemah..
Sriwijaya itu Luas….
Jgn terpaku pada satu titik..
Banyak belajar lagi ya kawan2..
Intiny6a begini..
Klau belum bisa bersatu ertinya belajarnya belum tuntas..
Selamat Belajar..
yang putih jangan katakan hitam , dikala kuning bertandang alam merupakan tirai diantara putih-putih dan kelabu
lengkung pelangi setelah renai hujan disitu tempat Kerajaan kami, Istana kami. dan tak ada kembara yang sanggup menembus tirai semu diantara batas kita.
itulah…………………………………………………………
semua tiada terjamah oleh tangan, baru terjamah oleh angan.
Sebagai kembara, kelana bawah sebilah lembing tancapkan kebumi
dan angan memerah semerah saga bagimu bukan khayalan belaka, dan ingat…………………………….
jika kau seorang kesatria,
ketika itu kau lintasi jalan setapak dipegunungan, ketika kau lalu, godaan lirih dedaunan jangan kau hiraukan, dan bila mekar bunga sekuntum jangan kau palingkan mukamu, dan jangan kau petik bunga itu, niscaya kau akan luluh ditepian jeram.
Himbauan burung, angin dan ranting pohon jangan kau hiraukan Teguhkan hati, songsong surya hingga dia tenggelam, kala bulan sembunyi jangan kau intip bintang jika tidak ingin kau musnah.
Ada sebuah bukit dan juga lembah, dari sana kau dapat melihat sebuah kelok sungai yang bermuara.
diantara sebentuk daratan yang dibatasi oleh laut disitu ada kami
sebentuk merah diatas kuning, sebuah lambang dan kebesaran kita
lengking sehidung, lenguh dan teriakan nyaring disitulah daerah sebagian tempat kami
harum sekuntum kemala semerbak meronai membiasnya bianglala, terlalu indah dan indah, bila ingin digapai angan ganti angan wujudkan dalam kenyataan dan jangan selalu dibelenggu oleh mimpi.
Lihatlah deru badai telah berlalu, kini langit membiru, membahana terdengar suara sang dewa-dewi yang terpadu satu, bangkit dan bangkitlah, tempuh apa adanya, ingat fajar telah menyingsing dan temukanlah sebuah nama dari sebuah kerajaan yang pernah jaya dihampir seluruh jagat raya.
Kenapa demikian? karena kalau ditarik ke atas, ternyata nenek moyang ke empat suku ini dalah satu dan saling berhubungan… Namun saja penaamaan puyangnya saja yang berbeda di masing2 suku… Seperti Atung Bungsu di pasemah, dengan Rakihan Sakti di Komering, Aji Saka di lampung atau Serunting sakti di bengkulu selatan… walaupun belum tentu merupakan orang yang sama tetapi dari literatur atau cerita di masing suku dapat diambil benang merah bahwa puayang2 tersebut masih ada hubungan darah atau nama puyang tersebut adalah sama..
Semidang Tungau di Sumsel, di lampung disebut Buay Tungau.. dll..
Mengenai penjelasan Bapak Nyerupa Waitu Opara, memang ada kaitan antara Ratu Menapik (Mena Tepik) dengan Sriwijaya… Istana Gedung Asin dimungkinkan adalah bagian dari Buay Betawang keturunan Putri Bedarah Putih yanga ada kaitan dengan Ratu buay Tumi Sekarmong (di Belalau) dan keratuan Pemanggilan di Liba Haji Sumsel… Nenek moyang Buya Benawang, Semenguk (Tumi sesudah Islam), Nuwat dan Haji adalah satu…
http://agen004.16mb.com/index.php?option=com_content&view=article&id=113&Itemid=82
oleh MINANGKABAU pada 17 November 2009 pukul 10:26 ·
Dalam buku ” Manyigi TAMBO Alam MINANGKABAU ” sebagai studi perbandingan Sejarah yang dilakukan Drs. Md Jamal, maka menarik untuk ditampilkan bahwa beliau berusaha menyusun silsilah ” kerajaan Minankabau di Pariangan “, dalam tahun demi tahun seperti yang terlihat pada image.
Demikianlah asal usul dan penyebaran nenek moyang minangkabau itu, berawal dari Dapunta Hyang yang menginjakkan kakinya di Gunung Merapi. Oleh penduduk disebut ” Sang Sapurba ” ( = dia yang pertama atau dahulu). Mengenai hal ini ada sebuah pepatah (mamangan) yang tersebut, yaitu :
Dari mana titik pelita,
dari tangkung yang berapi,
Dari mana asal ninik kita,
dari puncak gunung Merapi
Pepatah adat ini, didalam ” kitab Sejarah Melayu”, karangan Tun Sri Lanang (1621), diperjelas oleh Mr. Moh. Yamin 1951 : 138), bahwa pada suatu malam sebelum tahun 517 Masehi, ada dua orang wanita bernama Wan Empu dan Wan Malini memandang dari rumahnya diata Bukit Si Guntang, bahwa ada yang bernyala -nyala seperti api. Keeseokan harinya barulah kelihatan bahwa api itu adalah cahaya yang bersinar. Itulah yang disebut cahaya Swarna. Kemudian dikenal pula Swarnadwipa, yaitu julukan pulau emas untuk pulau Sumater
Uda & Uni minang,,pada tahun 2008 diadakan seminar Raja2 se Indonesia di Besemah kota Pagar alam Sumatera Selatan dengan judul “asal usul jeme/suku Besemah/Zaman Megalitikum/Besemah sebagai pendahulu Sriwijaya/Besemah Sindang Merdeka/,yg hadir diantaranya adalah Sultan Hamangkubuwono sebagai keturunan wangsa syailendra yg dengan tegas menyatakan sebagaimana dikutip oleh Koran kompas dan bnyak koran lainnya bahwa “saya pulang kampung”,,dan asal usul Trah Syailendra adalah dari dataran tinggi Besemah gunung Dempo kota Pagar alam sumatera Selatan,,yg om maksudkan dengan bukit Mandaro di dataran tinngi besemah ada sebuah bukit yg di kunjungi oleh Sultan yg oleh masyarakat kuno besemah di sebut Bukit RajeMendare yg bersebelahan dengan bukit rimbah Candi dan Gunugn Dempo sebagai titik tertinggi di sini 3600 mdpl yg dibawahnya mengalir sungai2 besar dan bertemu diantara 2 sungai besar lainnya yaitu Sungai Lematang & Suinagi Ogan yg bermuara ke sungai Musi di Palembang,,demikian utk pencerahan bagi semuah,terimakasih
ternyata dr PALEMBANG – lah asal muasal semua atau mayortas suku di kepulauan sumatera, kalimantan, singapura & malaysia
Lampung ramai karena strategis sehingga dari dulu banyak yg hijrah kesana hingga sekarang transmigrasi ga putus2, capek deh…
Juga komentar-komentarnya dapat juga dijadikan referensi yang berguna bagi sejarah di Nusantara, terutama untuk sejarah Sriwijaya sendiri.
Mudah-mudahan informasi-informasi dari semua yang ada disini dapat dijadikan bahan penelitian kedepannya.
Para peneliti asingpun mengatakan bahwa wilayah Sriwijaya terbentang dari Thailand sampai dengan Jawa (dengan ditemukannya beberapa prasasti di Thailand juga Candi Borobudur yang dibangun oleh wangsa Syailendra).
Baiknya kita memulai dari sekarang untuk bersama-sama meneliti atau memberikan informasi kepada para peneliti sejarah untuk dijadikan referensi yang berguna bagi perkembangan sejarah ditanah air. terima kasih
Disana merupakan kompleks percandian yang besar (baru 9 yang di pugar) dan masih banyak terdapat menapo (gundukan tanah) yang belum digali dimana di dalamnya kemungkinan terdapat susunan batu-bata (candi)
Saya dan tim Badan Geologi pernah melakukan pengukuran geofisika menggunakan metode Ground Penetrating Radar (kira-kira tahun 2011), hampir sama dengan metode yang digunakan di Gunung Padang, Cianjur, dan G. Sadahurip, Garut; hasilnya menunjukan ada struktur bawah permukaan yang kemungkinan merupakan candi.
Kendala Tim Arkeologi (BP3 Palembang dan Arkeologi Nasional) adalah luasnya daerah yang diduga merupakan kompleks percandian ini.
Saya usulkan supaya Pemprov Jambi merespon hal ini sehingga kita bersama bisa mengungkap kekayaan negeri ini.
Majapahit belum ada saat kegemilangan Sriwijaya bahkan Kerajaan Singosaripun belum ada, Kerajaan yg menguasai pulau jawa saat periode Sriwijaya adalah Kerajaan Medang dan itupun akhirnya menjadi bawahan Sriwijaya, Wangsa Sailendra penguasa kerajaan Medang itu jelas berasal dari Sriwijaya itu bisa di lihat pada sebutan gelar “Dapunta Sailendra” pada Prasasti Sojomerto, kata Dapunta hanya di pakai oleh raja2 Sriwijaya dan tidak di pakai oleh Raja2 di Jawa, berarti Jawa merupakan daerah tahklukan Sriwijaya dan merujuk pada Prasasti Kota Kapur yg mengatakan Dapunta Hyang Jaya Nasa berangkat ke Pulau Jawa untuk melanaklukan Jawa yg tidak mau tunduk kepada Sriwijaya.
Dan satu hal lagi Candi Borobudur yg di bangun oleh Pramowardhani anak Samaratungga yg merupakan Raja2 keturunan dinasti Sailendra itu juga merupakan warisan Sriwijaya, terdapat relief dan ukiran di dinding2 candi yg menggambarkan pasukan2 berperahu yg identik dengan Armada Sriwijaya, karena pada zaman itu mayoritas penduduk pulau jawa Beragama Hindu sedangkan Sriwijaya beragama budha.
Sriwijaya dan Dinasti2 keturunan Sailendra mulai kehilangan kekuasaan atas Jawa di karenakan pemberontakan oleh Rakai Pikatan yg merupakan keturunan Dinasti Sanjaya yg beragama hindu dan dia juga adalah suami Pramowardhani, Rakai Pikatan berhasil mengalahkan Balaputradewa yg mana Balaputradewa ini juga adik dari Pramowardhani keturunan Dinasti Sailendra ( Sriwijaya ), Rakai Pikatan berhasil membalas kekalahan Dinasti Sanjaya atas Dinasti2 Sailendra dan merebut kembali kekuasaan Dinasti Sanjaya di Jawa dan Hindu makin berkembang di Jawa hingga era Majapahit.
Jadi motif Rakai Pikatan menikah dengan Pramowardani bisa di katakan ada unsur ingin membalas dendam dan mengembalikan kekuasaan Dinasti Sanjaya atas Jawa.
Dan saya juga keberatan dengan sejarawan yg suka menafsirkan sejarah sesuai dengan keinginan mereka tanpa melihat fakta2, bahkan hingga saat ini ada sejarawan yg masih menyangkal itu.
Majapahit itu belum ada saat kegemilangan Sriwijaya bahkan Kerajaan Singosaripun belum ada, Kerajaan yg menguasai pulau jawa saat periode Sriwijaya adalah Kerajaan Medang dan itupun akhirnya menjadi bawahan Sriwijaya, Wangsa Sailendra penguasa kerajaan Medang itu jelas berasal dari Sriwijaya itu bisa di lihat pada sebutan gelar “Dapunta Sailendra” pada Prasasti Sojomerto, kata Dapunta hanya di pakai oleh raja2 Sriwijaya dan tidak di pakai oleh Raja2 di Jawa, berarti Jawa merupakan daerah tahklukan Sriwijaya dan merujuk pada Prasasti Kota Kapur yg mengatakan Dapunta Hyang Jaya Nasa berangkat ke Pulau Jawa untuk melanaklukan Jawa yg tidak mau tunduk kepada Sriwijaya.
Dan satu hal lagi Candi Borobudur yg di bangun oleh Pramowardhani anak Samaratungga yg merupakan Raja2 keturunan dinasti Sailendra itu juga merupakan warisan Sriwijaya, terdapat relief dan ukiran di dinding2 candi yg menggambarkan pasukan2 berperahu yg identik dengan Armada Sriwijaya, karena pada zaman itu mayoritas penduduk pulau jawa Beragama Hindu sedangkan Sriwijaya beragama budha.
Sriwijaya dan Dinasti2 keturunan Sailendra mulai kehilangan kekuasaan atas Jawa di karenakan pemberontakan oleh Rakai Pikatan yg merupakan keturunan Dinasti Sanjaya yg beragama hindu dan dia juga adalah suami Pramowardhani, Rakai Pikatan berhasil mengalahkan Balaputradewa yg mana Balaputradewa ini juga adik dari Pramowardhani keturunan Dinasti Sailendra ( Sriwijaya ), Rakai Pikatan berhasil membalas kekalahan Dinasti Sanjaya atas Dinasti2 Sailendra dan merebut kembali kekuasaan Dinasti Sanjaya di Jawa dan Hindu makin berkembang di Jawa hingga era Majapahit.
Jadi motif Rakai Pikatan menikah dengan Pramowardani bisa di katakan ada unsur ingin membalas dendam dan mengembalikan kekuasaan Dinasti Sanjaya atas Jawa.
Dan saya juga keberatan dengan sejarawan yg suka menafsirkan sejarah sesuai dengan keinginan mereka tanpa melihat fakta2, bahkan hingga saat ini ada sejarawan yg masih menyangkal Borobudur adalah Candi peninggalan Sriwijaya bahkan masih ada yg mengatakan Dinasti Sailendra itu berasal dari Jawa, sulit apa mengakui Jawa pernah menjadi bawahan Sriwijaya ???
Semoga menjadi renungan kita bersama.
Dinginkan kepala-kepala anda wahai saudaraku Sriwijaya akan terkuak walau secara perlahan, awal Sriwijaya akan terkuak dari awalnya terbentuk, dan akan membuat kita tercengang..
Mulanya, perjalanan ini kuanggap sia-sia tapi “TIDAK” ketika mulutku coba mencari jelas pada beberapa orang yg disebut ahlinya soal tanaman. Baru kuakui, setiap langkah dan niatan tak ada yang akan sia-sia jika berdasarkan alasan untuk mencari kebenaran. Mencari tahu tidaklah salah, tapi akan menjadi salah jika kita hanya cukup melalui fase “mengetahuinya saja”. Artinya jelas, fase mencari tahu harus berkelanjutan menjadi fase memahami agar pertanyaan-pertanyaan terjelaskan dengan benar. Akan selalu ada akibat setelah ada sebab. Maka akan selalu ada alasan dari setiap pertanyaan dan jawaban. Itu tidak akan terlahir begitu saja. Renungkan itu!
Perjalanan kali ini, aku menuju sebuah daerah bernama Pagaralam. Tepatnya sebuah kota kecil yang memiliki kebanggaan akan gunungnya yang bernama Gunung Dempo. Saat ini, Pagaralam memang tengah menjadi pusat perhatian mata para peneliti sejarah. Khususnya sejarah Kerajaan Sriwijaya yang tiba-tiba menghilang jejaknya dalam kejayaannya. Pun tak berniat lebih, karena aku bukan seorang Sejarahwan.. Aku mencoba untuk menapaki jalur tracking Gunung Dempo melalui jalur wisata yakni Tugu Rimau yang terletak di Tangsi IV atau berdekatan dengan Kampung IV.
Ini pengalaman pertamaku mendaki gunung. Jadi tidak seperti kebanyakan para pendaki yang membawa perlengkapan dan logistik mumpuni. Kala itu, aku hanya berbekal air mineral 600 ml dan 4 potong coklat sisa perjalananku dari Tangerang dan potato snack yang masih 3/4 dari isinya. Tanpa tenda dan kantung tidur, aku dan seorang warga asal Desa Meringang memulai pendakian pada pukul 15.00 WIB. Ini nekat namanya. Tapi tidak juga karena aku bukan bertujuan untuk menaklukan puncak gunung seperti kebanyakan para pecinta alam yang memiliki sederet panjang pengalamannya dengan berbagai puncak gunung.
Aku memang bukan pecinta alam, tapi aku cukup peduli dengan pemandangan selama pendakianku. Seperti halnya menikmati serakan sampah plastik yang disisakan para pecinta alam yang bangga telah mencapai puncak-puncak gunung. Hah! Mereka menamai diri mereka sebagai Pecinta Alam tapi tak malu meninggalkan sampah-sampah plastik di alam semesta jagad raya yang jelas tak memiliki tukang sapu yang dibayar jelas per bulannya. Mereka juga tak malu bekoar keras sebagai Orang-orang yang Mencintai Alam, namun tak malu mengukir nama-nama mereka di batang-batang pohon yang mereka tak anggap jiwa-jiwa itu menangis. Ah, sudahlah.. Aku sangat bersedih menikmati pemandangan itu.
Kakiku terus menapaki jalur pendakian, sambil menikmati beberapa pemandangan yang baru untukku setelah perjalananku selama 3 tahun menyusuri beberapa lokasi hutan konservasi di Kalimantan Tengah. Memang tidak ada kesamaan yang spesifik karena Gunung Dempo adalah jenis pemandangan hutan di pegunungan tidak sama seperti di Kalimantan Tengah yang tepatnya di hutan konservasi Suaka Margasatwa Sungai Lamandau yang hanya bisa dilalui jalur sungai dan Taman Nasional Tanjung Puting. Begitu juga dengan ekosistemnya yang jauh berbeda. Tapi di sela pendakian, aku sempat terheran-heran ketika pandanganku tertuju pada sebuah Pohon Nipah yang memiliki nama ilmiah Nypa fruticans Wurmb (http//id.wikipedia.org/wiki/Nipah: Tumbuhan ini merupakan satu-satunya jenis palma dari wilayah mangrove).
Wow! Hatiku berdecak kagum sekaligus heran. Ini tidak masuk akal. Selama 3 tahun di Kalimantan Tengah, aku bergumul dan sering kali menyapa pohon ini bahkan beberapa kali telah kutulis dalam naskah berita di harian umum surat kabar Borneonews, media masa tempatku bekerja saat itu. Jelas aku tidak salah melihat dan mengidentifikasi kalau pohon yang tumbuh dengan akar yang kuat sebesar kakiku itu adalah Pohon Nipah. Otakku terus bertanya-tanya, mengapa bisa tumbuhan jenis palm yang hanya hidup di daerah air payau ini tumbuh di Hutan Larangan, Gunung Dempo yang diduga berada pada ketinggian 1900 dpl.
Ini bukan salah penglihatan. Ini bukan cerita mitologi.. Juga bukan mengada-ada. Ini fakta! Tapi sayangnya mengapa tidak ada peneliti yang sadar akan itu. Bahkan sayangnya lagi, perlengkapanku tidak selengkap para peneliti yang selalu mengantongi kamera sehingga aku tidak bisa mengabadikan penglihatanku itu. Tapi tak perlu kawatir, bagi siapa pun yang berencana melakukan pendakian ke Gunung Dempo bisa mengabadikan gambar Pohon Nipah yang ukurannya cukup besar itu sehingga diduga Pohon Nipah itu telah tumbuh lebih dari seabad. Meski jumlahnya tidak terlalu banyak, tapi Pohon Nipah di Gunung Dempo bisa sangat mudah ditemukan. Itu karena di beberapa titik jalur pendakian juga ada yang ditumbuhi Pohon Nipah sehingga tanpa sadar, akar Pohon Nipah yang kokoh itu telah menjadi sebuah pegangan yang kuat bagi para pendaki.
Lalu pertanyaanku mulai berlanjut ketika kuingat sebuah dugaan yang dicetuskan oleh seorang yang juga bukan seorang peneliti sejarah yang mengungkapkan kalau dahulu kala Pagaralam itu digenangi air sehingga ada dugaan pula kalau hulu Sungai Musi adalah terletak di Pagaralam. Hulu Sungai Musi di Pagaralam???? Selain itu diperkuat lagi dalam sebuah catatan berangka tahun 1920 yang menjelaskan saat itu kapal Belanda masih hilir-mudik ke hulu Sungai Musi yakni Pagaralam. Hulu Sungai mengingatkan aku pada sebuah teori pola prilaku manusia zaman dulu yang selalu memusatkan aktivitasnya pada hulu sungai dan menempati puncak-puncak gunung tertinggi. Mungkinkah ini juga berkaitan dengan jejak-jejak sejarah menghilangnya Kerajaan Sriwijaya yang pernah berjaya pada masanya itu. Meski Kerajaan Sriwijaya bukan merupakan jenis kerajaan teritorial, namun Kerajaan Sriwijaya tetap pernah memiliki lokasi titik mula yang juga disebut sebagai lokasi pusat kerajaan.
Sekali lagi, saya pertegas.. Saya bukan seorang ahli sejarah atau yang biasa disebut dengan Sejarahwan. Dugaan yang terlahir dari alam logikaku murni dari pola pikir sederhana manusia yang berakal. Tidak ada juga niat dalam hati untuk menjadi pahlawan kesiangan yang tiba-tiba mengklaim dirinya sebagai orang yang lebih tahu sehingga berhak untuk bicara kebenaran sejarah untuk menunjukan lokasi pusat Kerajaan Sriwijaya. Hohoo.. Ini hanya dugaanku, sedang yang berhak memutuskan kebenaran ini hanya mereka yang dikatakan sebagai ahli sejarah. Begitu juga dengan Desa Rimba Candi yang ramai diperbincangkan sebagai lokasi pusat Kerajaan Sriwijaya karena telah ditemukan banyak batu yang diduga sebagai puing-puing sisa bangunan kerajaan.
Bicara candi.. Aku tidak yakin itu berarti sebuah bangunan pusat kerajaan. Aku pikir itu hanya candi yang fungsinya tak ubah seperti tempat sembahyang atau bisa juga itu hanya sebuah taman kerajaan. Jadi dugaanku itu hanya bagian dari bangunan pusat kerajaan. Sedang yang disebut benar-benar pusat atau istananya bukan terletak di Desa Rimba Candi. Ah, itu hanya dugaan saja. Tapi aku juga tidak bisa memungkiri jika dugaan-dugaan itu bisa dijadikan refrensi bagi mereka yang disebut sebagai ahli sejarah atau siapa saja yang berkeinginan mengungkap keberadaan bangunan pusat Kerajaan Sriwijaya.
Kemudian refrensi lainnya, aku coba menilik pada catatan sejarah terangkatnya Candi Borobudur yang merupakan bukti pusaka kejayaan Kerajaan Sriwijaya seperti yang tertulis dalam syair tembang Gending Sriwijaya.
Di kalaku merindukan keluhuran dulu kala
Kutembangkan nyanyian lagu Gending Sriwijaya
Dalam seni kunikmati zaman bahagia
Kuciptakan kembali dari kandungan Sang Maha Kala
Sriwijaya dengan Asrama Agung Sang Maha Guru
Tutur Sabda Dharmapala Sakya Khirti Dharma Khirti
Berkumandang dari puncaknya si Guntang Mahameru
Menaburkan tuntunan suci Gautama Budha Sakti
Borobudur candi pusaka di Zaman Sriwijaya
Saksi luhur berdiri teguh kokoh sepanjang masa
Memasyurkan Indonesia di daratan se-Asia
Melambangkan keagungan sejarah Nusa dan Bangsa
Taman sari berjenjangkan emas perlak
Sri Kesitra dengan kalam pualam bagai di Sorga Inderalaya
Taman puji keturunan Maharaja Syaelendra
Mendengarkan iramanya lagu Gending Sriwijaya.
Candi Borobudur terangkat setelah terjadinya bencana alam gempa sehingga abu-abu vulkanik yang menutupi bangunan Candi Borobudur meluruh. Artinya Candi Borobudur menghilang setelah terjadinya letusan gunung. Mungkinkah, bangunan pusat Kerajaan Sriwijaya pun menghilang setelah terjadinya letusan gunung yang hebat. Dugaan itu mungkin terjadi jika kita mengasumsikan lokasi bangunan pusat Kerajaan Sriwijaya seperti halnya pola hidup manusia zaman dulu yang menempati puncak-puncak gunung tertinggi. Atau seperti yang tertuang dalam catatan kidung atau tembang sriwijaya lainnya yang dikutip dari rizacky.blogspot.com/2009/05/kemala-yang-terpendam.html.
Sebuah kedatuan yang pernah jaya
Hampir keseluruh Mayapada
Bawa bekal yang takkan habis oleh perjalanan waktu
Ketika kembara melangkahkan kaki menelusuri tepian pantai
Dan……………………………
Di dalam menyibak tirai itu
Harus tertebus dengan suatu pengorbanan
Walaupun alam tembangkan kidung nestapa
Kaki luka jiwa hancur
Namun sukma suci
Namun sukma putih
Dan,
Air merupakan kehidupan
Tiga helai daun lontar yang tak akan layu dan musnah karena kurun waktu
Yang putih jangan katakan hitam
Di kala kuning bertandang
Alam merupakan tirai diantara putih-putih dan kelabuh
Dan
Lengkung pelangi setelah renai hujan
Di situ tempat kerajaan kami, Istana kami
Dan
Tak ada kembara yang sanggup menembus tirai semu diantara batas kita
Itulah…………………………………………………………………………
Dikala bunga lotus menyebarkan fatwa
Walaupun alam tembangkan kidung nestapa
Namun sukma suci
Namun sukma putih
Dan
Air merupakan kehidupan
Semilir angin menyampaikan berita keseluruh penjuru mayapada
Dan secercah dian Darmapala menjelma
Siguntang dan Mahameru wujudan si Darta Gautama
Yang merubah perjalanan waktu
Yang menjadikan kedatuan semerbak mewangi diseluruh kanca
Di darat kau Raja
Di sungai kau Banginda
Di laut kau Sultan
Tiada tepian tiada yang kau miliki
Mentari pagi dan Ugahari terpeluk erat dalam kedatuan
Di tepian kau bercanda
Di belantara kau bersenandung
Di bukit yang berbataskan dengan kaki-kaki langit
Semua terpeluk dan tergenggam dalam kejayaan
Kau angkuh, keras, kuku membatu
Merah, putih, kuning dan perpaduan warna
Tunduk dibawah sinar rembulan
Tiada daratan, tiada lautan yang tiada kenal engkau
Tapi sayang,
Di balik awan yang hitam mentari dibelai kesenduhan
Ketika semuanya jatuh runtuh dalam mahligai kejayaan.
Tiga helai daun lontar yang tak akan layu dan musnah karena kurun waktu
Yang putih jangan katakan hitam
Dikalah kuning bertandang
Alam merupakan tirai diantara putih-putih dan kelabu
Dan
Lengkung pelangi setelah renai hujan
Disitu tempat kerajaan kami, Istana kami
Semua insan yang dulunya bercermin pada kaca yang telah retak
Membias diri dalam belaian Sang Budha
Sungai dan belantara bagaikan taman dalam Indraloka
Suara unggas dan margasatwa bagaikan paduan suara dewa-dewi Nirwana
Semua manusia dari yang hitam sampai yang terputih
Diantara yang putih, semua tiada celah
Tiada puri yang tidak terjangkau
Tiada singgahsana yang tidak terduduki
Tiada upeti yang tidak terdapat
Tiada daerah yang tidak termiliki
Semua dibawah panji-panji kebesaran Maharaja
Diantara kedua sungai dan muara
Rakyat hidup bersuka
Bukan diantara belaian duka dan air mata
Himbauan Mahameru yang tersampaikan lewat bayu
Memberikan semangat bagi insan yang ada di darat
Hamparan perairan itulah kejayaan kami
Jaya di atas kejayaan
Bunga bukan sekar melainkan kembang terputih dari putih
Dan putih yang tiada ternoda
Emas menguning tiada arti
Putih mutiara berserakan
Itu tiada berarti
Karena kedatuan memiliki lebih dari pada yang lebih
Dan
Tak ada kembara yang sanggup menembus tirai semu diantara batas kita
Itulah…………………………………………………………………………
Jika kau seorang satria
Ketika kau lintasi jalan setapak dipegunungan,
Ketika kau lalu, godaan lirih dedaunan jangan kau hiraukan,
Dan bila mekar bunga sekuntum jangan kau palingkan mukamu,
Dan jangan kau petik bunga itu, niscaya kau akan luluh ditepian jeram
Himbauan burung, angin dan ranting pohon jangan kau hiraukan
Teguhkan hati, songsong surya hingga dia tenggelam,
Kala bulan sembunyi jangan kau intip bintang jika tidak ingin kau musnah
Kau basuh luka dengan air mata
Bukan dengan ratap
Semua terpendam dalam keangkuhan, kebanggaan, kekuasaan dan kejayaan
Tiada cita yang tidak tercapai
Tiada cita yang tidak tergapai
Tiada musuh yang tak terterjang
Semua kandas, hancur, tenggelam ditelan silam
Ada sebuah bukit dan ada juga lembah,
Dari sana kau dapat melihat sebuah kelok sungai yang bermuara
Di laut kau nagaikan nakhoda,
Kau intip bintang dikepekatan malam untuk tentukan arah
Dimana ada daratan
Dan
Adakah pelabuhan yang akan kau singgahi
Bila kau seekor burung lepas, bebas terbang dijagat raya
Kau pasti kembali kedaratan, ranting, dahan, tapi………………dimana ?
Sibak selimut mayapada
Teguhkan, tetapkan dan mantapkan
Tukar hatimu dengan baja
Siapkan laskar lebih dari selaksa
Telusuri sungai
Jelajahi lautan
Tembus belantara
Terjang gunung
Lewati ngarai
Akan kau temui………………………………………………… ???
Jangan kau berpaling sebelum kau temui
Ketika rona merah tiada lukis diperaduan mentari
Saat itu bulan penuh, langit tanpa awan
Saat itu, dewi, bidadari, bersuka ria di puri
Ketika fajar menyingsing dan mentari enggan menampakkan diri
Saat itu SATRIA tegak berpijak dengan kokoh, dan kokoh di persada
Disaat gendang dibunyikan oleh tangan-tangan yang kokoh
Maju, terjang bagimu hai prajurit, hantam dia dari seberang lautan,
Leburkan dia dari daratan
Songsong dia dan darimana pun dia, tidak ada rasa takut
Tertera dihati kita, selaksa kita jatuh, berjuta laksa kita tumbuh
Di kanca pertempuran, tidak ada kata muhibah ! tikam terjang,
Bunuh dan bunuh, bunuh demi Maharaja dan kejayaan kita
Tepik sorak kemenangan telah terbiasa, kekalahan sudah lumrah
Terjang badai, terjang topan, songsong armada, leburkan
Demi kesetiaan kita pada Junjungan
Ketika datang berpuluh armada bahkan lebih dari negeri jauh
Dan jauh, kita sambut dia disuatu selat, bukan diperairan,
Kita hantam dan leburkan kerajaan itu.
Semua luruh lebur yang ada hanya warna merah dan cahaya kuning
Diatas sebuah kemenangan didasari suatu kekalahan
Pahit rasa mereka, manis itu rasa kita, CAMPA itu milik mereka
Dan KEDATUAN milik kita.
Di antara DUA MUARA, SATU SELAT, LIMA SUNGAI dan
DUA ANAKNYA disitu tempat kami
Semua tiada terjamah oleh tangan baru terjamah oleh angan
Sebagai kembara, kelana
Bawah sebilah lembing tancapkan kebumi
Dan angan memerah semerah saga bagimu bukan khayalan belaka
Dan ingat……………………………………………………………..?
Bila mentari tepat diatas, bayanganmu merupakan titik
Itulah tempat kami
Bila kau dahaga ditepian kau dapat menghapus semuanya
Itulah tempat sebagian rakyat
Yang akhirnya hancur dan musnah setelah dilanda ANGKARA
Dan ada SATU KERAJAAN yang INGIN di MAHARAJA
Yang tercanang bahwa kerajaan kita hancur dan musnah karena dia
Namun semua tahu baik KUNING, HITAM, PUTIH bahwa kita tetap jaya
Kita tidak KALAH dan juga tidak MENANG.
Tapi perjalanan waktu tahu bahwa kita pernah jaya, dan jangan dicontoh
MAHARAJA yang ingin jadi RAJA bersenandung diatas runtuhnya sebuah
Keruntuhan yang terdapat dibalik keruntuhan.
AIR milik rakyat menjadi SAKSI ABADI untuk semuanya…………………
Diantara sebentuk daratan yang dibatasi oleh lautan disitu ada kami
Dikala kepekatan mencekam menghantui
Cari pelita untuk menerangi semuanya
Dan jangan lupa pada yang kuasa
Bila kau berdiri diatas sebuah bukit
Akan kau lihat puncak kedatuan kami
Yang kini terkubur dan terpendam
Diantara keangkuhan kenangan dan perjalanan masa
Alunan ilalang terlihat jelas, senandung pepohonan begitu syahdu
Penaka cetusan hati nurani sang dewi tatkala menerima KEMALA
Yang di impi, tetapi tak seindah sekar, ranting, indraloka, wadak.indah tidak terlalu indah, jelek namun terlalu indah, ataukah yang angin lirihkan
Sebentuk MERAH diatas KUNING, sebuah lambang dan kebesaran kita
Lengking SEHIDUNG, LENGUH dan teriakan nyaring disitulah daerah
Sebagian tempat kami.
Harum sekuntum kemala semerbak meronai membiasnya bianglala
Terlalu indah dan indah, bila ingin digapai tangan, ganti angan wujudkan
Dalam kenyataan dan jangan selalu dibelenggu oleh mimpi.
Lihatlah deru badai telah berlalu, kini langit membiru, membahana
Terdengar suara sang dewa dewi yang terpadu satu
Bangkit dan bangkitlah, tempu apa adanya.
Ingat fajar telah menyingsing dan temukanlah sebuah NAMA dari sebuah
KERAJAAN yang pernah jaya dihampir seluruh JAGAT RAYA.
Kau temukan TIGA helai daun LONTAR dan SATU batang JATI TUNGGAL
Disitu kau dapat melangkah maju…dan..temukan semuanya
Bila semua telah tersibak akan tejamahlah KEAGUNGAN ABADI
Dan selimut halimun yang selama ini merupakan batas antara kita
Dan Dipunggung bukit yang sepi tetapi tidak sunyi
Hanya kelenggangan menjadi SINGGAHSANA
Mungkinkah jika bangunan pusat Kerajaan Sriwijaya juga menghilang karena faktor alam. Dugaanku bisa jadi IYA jika lokasinya di punggung Gunung Dempo. Tidak ada catatan data ilmiah letusan dahsyat Gunung Dempo, namun diperkirakan letusan pernah terjadi pada pertengahan abad ke-18. Pakar vulkanologi, Dr Surono alias Mbah Rono, mencatat bahwa justeru gempa bumi berkekuatan besar di Gunung Dempo terjadi pada tahun 1838 (http://www.beritamusi.com/berita/2012-04/ditemukan-tempayan-kubur-di-dempo-utara-pagaralam/berita/2011-05/dempo-sang-pembuka-peradaban-baru/). Kalau dugaan itu mendekati kebenaran, maka terangkatnya bangunan pusat Kerajaan Sriwijaya hanya tinggal menunggu terjadinya bencana alam besar seperti yang terjadi pada Candi Borobudur. Atau seperti yang dikatakan Anton, seorang leader Pencinta Alam Gunung Dempo yang juga pernah mengikuti Ekspedisi Bukit Barisan wilayah Gunung Dempo yang dimotori Kopassus (Komandan Pasukan Khusus) TNI-AD pada tahun lalu, “Bangunan pusat Kerajaan Sriwijaya belum waktunya terangkat, sebelum barang yang dibuang dikembalikan.”
Anton juga menjelaskan, barang yang dibuang dimaksud tersebut adalah anting-anting. Ffiuh! Ini filososfi sekali. Sangat filososfi.. Lagi-lagi, harus kukatakan bahwa aku bukan seorang ahli sejarah, sehingga aku berhak bebas memiliki dugaan-dugaan sekenanya saja yang berdasarkan akal sehatku. Filososfi ini seperti berkaitan dengan sejarah keluarga Kerajaan Sriwijaya pada masa kejayaannya yakni pada masa Syaelendra yang kala itu Parameswara sebagai Rajanya. Parameswara yang merupakan Raja ke X atau dengan nama lain Srimat Tribhuanaraja Mauliwarmadewa dalam catatan sejarah Kerajaan Dharmasraya atau nama lainnya Raja Segentar Alam karena beliau memiliki ilmu Segentar Alam atau nama lainnya setelah diusir dari Sriwijaya dikenal dengan Iskandar Zulkarnaen setelah mendirikan Kerajaan Malaka, itu kalau tidak salah dan berarti benar.. Beliau hanya memiliki dua orang puteri yang bernama Dara Jingga atau nama lainnya Lintang seperti yang dikenal di Pagaralam dan Ratu Purin Lintang Diageng untuk namanya di Kalimantan yang menikah dengan Raja Paninting Tarung dari Kerajaan Nan Marunai dan Dara Petak yang berarti Merpati Putih memiliki nama lain Indreswari dalam catatan Negarakretagama dari istrinya yang bernama Puteri Rambut Selako. Sedangkan dengan pernikahannya dengan yang lain melahirkan hanya anak lelaki. Mungkinkah, anting-anting itu adalah gambaran filososfi kedua putrinya.
Sekali lagi, dugaan itu bisa “IYA” jika menilik pada catatan sejarah Ekspedisi Pamalayu. Istilah anting-anting yang dibuang, bisa dikaitkan dengan catatan sejarah Ekspedisi Pamalayu (1275-1293 M) yang dipimpin oleh Mahisa Anabrang atau Kebo Anabrang dari Kerajaan Singhasari. Inti ekspedisi itu adalah untuk menjalin kerjasama baik-baik antara dua kerajaan dengan cara menyerahkan kedua gadis Parameswara untuk dinikahkan Kertanegara di Singhasari. Namun menurut catatan Dinasti Yuan, Kaisar Khubilai Khan mengirim pasukan Mongol untuk menyerang Kerajaan Singhasari pada 1292. Akan tetapi Kerajaan Singhasari ternyata sudah runtuh akibat pemberontakan Jayakatwang. Sehingga pasukan Mongol kemudian bekerja sama dengan Raden Wijaya, raja pertama Kerajaan Majapahit yang juga merupakan kakak kandung dari Mahisa Anabrang atau pemimpin Ekspedisi Pamalayu untuk menghancurkan Jayakatwang.
Selanjutnya kedua orang putri Parameswara tersebut, Raden Wijaya sebagai ahli waris Kertanagara mengambil Dara Petak sebagai istri, dan menyerahkan Dara Jingga kepada seorang dewa. Istilah Dewa terlalu mitologi sehingga saya beranggapan itu hanya sebuah pengaburan dari seseorang yang telah meninggal. Jelasnya, ada penggalan catatan sejarah yang sengaja dibuang di sini yakni tentang pertemuan Dara Jingga dengan Mahisa Anabrang yang gugur dalam Ekspedisi Pamalayu tersebut. Ada dugaan Mahisa Anabrang dan Dara Jingga telah jatuh cinta dalam pertemuannya itu. Sehingga Dara Jingga dituliskan memiliki anak dari Mahisa Anabrang yang bernama Adityawarman. Dara Jingga mengandung anak dari Mahisa Anabrang dan belum sempat menikah karena Mahisa Anabrang gugur dalam ekspedisi tersebut. Itu juga alasan mengapa Raden Wijaya tidak menikahi Dara Jingga yang kemudian diberi sebutan Salakidewa. Mungkin itu juga alasan mengapa Raden Wijaya sangat menyayangi Adityawarman.
Sekembalinya Dara Jingga dari Ekspedisi Pamalayu, ia pulang kembali ke Sumatera dengan kondisi berbadan dua. Aku pikir, kondisi seperti itu menjadi sebuah aib bagi Sriwijaya sehingga Dara Jingga dibuang dan diasingkan ke Kalimantan. Ffiuhhh!!! Jadi mungkinkah dugaan anting-anting yang dibuang itu adalah anak gadis Parameswara yang bernama Dara Jingga karena hamil di luar nikah.
Wow! Rangkaian dugaan cerita ini seperti tidak masuk akal. Pun aku tidak meminta kalian untuk percaya karena aku bukan seorang ahli sejarah. Biarlah, mereka yang ahli yang mengungkapkan kebenaran ini semua. Semoga!
***
http://sejarah.kompasiana.com/2012/09/15/anting-anting-sriwijaya-yang-dibuang/
Bahkan mereka sudah klaim bahwa pusat peradaban&kebudayaan melayu adanya di Malaysia-Thailand dan bukan di Sumatera. Rata2 pendapat Malaysia ini berdasar penelitian terbaru dari seorang arkeolog Jepang bernama Takashi Suzuki yg mengeluarkan desrtasinya pada tahun 2011 ini link-nya http://www7.plala.or.jp/seareview/newpage6Sri2011Chaiya.html
Seprtinya bakal terulang lagi “pengklaiman budaya Indonesia” oleh pihak Malaysia…
1.kurangnya referensi sejarah
2.kerajaan Sriwijaya hilang bagai misteri
3.Kurangnya penelitian yang valid oleh budayawan Sum-sel maupun Indonesia umumnya.
4.terbelenggu oleh pendapat asing (Barat dan eropa)
Dari hasil penelusuran tim kecil yang tergabung Dalam Yayasan Pedulis Situs Sriwijaya, akta notaris Rosnaini,SH,M,KN no.09 tahun 2009. kami berpandangan bahwa runtuhnya kerajaan Sriwijaya akibat olah anak keturunan raja Sriwijaya bernama Raja Pranata Wijaya yang mempunyai anak 4 orang hasil pernikahannya dengan wanita dari India, Cina, keturunan Dempu Alam (bukan DEMPO) dan keturunan Arab. perkiraan terjadi ahir abad 7 M.Pusat kerajaan Sriwijaya berada diBukit Raja (Mendare) terletak antara Pagaralam dan kabupaten kaur Utara dulu kabupaten induk Bengkulu selatan dan dipinggir sungai Kinal yang bermuara kelautan Hindia (laut Bengkulu) jaraknnya sekitar 10 KM. peninggalan sejarah yang meyakinkan, al: pemandian raja-raja dengan panjang 2,5 KM lengkap dg kebesarannya termasuk tempat ganti pakaian dari batu,tempat istirahat, tempat raja dan tamunya, rakyat biasa, tentara dll. Disamping itu terdapat bangunan yang berdinding batu, dengan kamar2 didalamnya, pagar kerajaan dengan tebal 7 M dan panjang puluhan kilometer, ada peta batu, batu vihara, dan lainnya. untuk mencapai lokasi dari kecamatan Kaur dengan jalan kaki selama 5 jam menyusuri bukit terjal. Diseblah bangunan kerajaan juga terdapat bangunan lainnya yng menyerupai Candi. dan berdasarkan informasi yg dapat dipercaya bahwa sebenanrnya kerajaan Sriwijaya bukanlah satu-satunya kerajaan, melainkan ada kerajaan pendahulunya yakni kerajaan Dempu Alam berpusat diRimba Candi, lalu kerajaan Dwi jaya berpusat dibukit Tembok, kerajaan ketiga kerajaan tri Jaya juga dibukit Tembok dimana masih ada peninggalan purba yakni Menara setinggi 315 M menjulang tinggi, kemudian kerajaan ke-empat Sri jaya sekitar 20 KM sebelah barat dekat reruntuhan kerajaan Sriwijaya.Bukti-bukti sejarah secara tidak tertulis tapi wujud aslinya masih utuh dan sahih.Tapi apakah ada kemauan menggalinya, menyibak misteri yangs emestinya bukan? dan berdasarkan kaidah ilmiah bahwa bukti-bukti berupa bangunan dan lainnya merupakan alat yang dapat dijadikan bukti yang akurat ilmiah. mari kita satukan langkah, menuju Sriwijaya yang jaya penguasa Nusantara dan sebagaian belahan dunia ini. Sriwijaya abad 4-7 jaya menemukan dunia bulat, peta dunia, kapal/perahu yang mengarungi samudra luas. Ini dibuktikan dg peninggalan jung (kapal batu) disungai Luas Kaur Utara lengkap dengan tambatannya. terimakasih, kita saling tukar info dan sambil berbenah untuk membuktikan bahwa Sriwijaya itu tidak misteri tapi ada tempatnya yg jelas.