SITUS RATU BALAW SEBAGAI PERMUKIMAN PENAMBANG EMAS
Nanang Saptono
Sari
Sumatera dikenal sebagai Pulau Emas. Penambangan emas sudah dilakukan
sejak awal Masehi. Kerajaan Sriwijaya dapat berkembang karena didukung
emas. Berdasarkan prasasti yang ada, wilayah kekuasaan Sriwijaya
meliputi Lampung. Situs Ratu Balaw mengandung tinggalan arkeologi yang
menunjukkan sebagai pemukiman penambang emas. Emas yang ditambang
meliputi emas primer dan emas sekunder.
Abstract
Sumatera Island was known as Gold Island. Exploration of gold had
been done since early century. Sriwijaya become a great kingdom
supported by this gold. Based on several inscriptions, kingdom of
Sriwijaya included Lampung area. Archaeological remains point out that
Ratu Balaw site was a gold explorer settlement, which includes
exploration of primary gold and secondary gold.
Kata kunci: artefak batu, penambangan, emas, primer, sekunder.
Pendahuluan
Kawasan Sumatera sudah sejak lama dikenal sebagai penghasil emas.
Budaya India masuk ke Indonesia disinyalir oleh G. Coedes
dilatarbelakangi oleh emas. Hal itu terjadi karena pada sekitar awal
Masehi, India kehilangan sumber emas di Siberia. Sebelumnya para kafilah
Siberia melalui Baktria memasok emas ke India. Akses ini terputus
karena gerakan berbagai bangsa di Asia Tengah. Akibatnya India mencari
emas ke daerah lain di antaranya ke daerah sebelah timur India (Coedes,
1968: 20; Sumadio, 1990: 11).
Daerah sebelah timur India yang dikenal sebagai pengahasil emas
adalah Suvarnabhumi atau Suwarnadwipa yang artinya pulau emas. Sebutan
itu menunjuk pada Pulau Sumatera. Claudius Ptolemaeus menyebut
Suwarnadwipa dengan Chryse Chersonesos yang artinya semenanjung emas.
Disebut dengan istilah semenanjung emas karena di sepanjang pegunungan
Bukit Barisan banyak ditemukan sumber emas (Meulen, 1988: 27 – 37).
Situs penambangan emas banyak ditemukan di sepanjang Bukit Barisan mulai
dari Bengkulu, Minangkabau, Tapanuli, hingga Aceh (Sartono, 1984: 1).
Sisa-sisa aktivitas penambangan emas yang ditemukan berupa batu pelandas
besar dan batu penghancur bijih emas. Dalam penambangan juga sudah
menggunkan mercury untuk memisahkan bijih emas. Botol keramik Cina masa
Dinasti Song – Yuan, sekitar abad ke-12 – 13, tempat mercury sering
ditemukan di situs-situs penambangan emas. Tanda sebagai tempat mercury
adalah adanya kerak berwarna merah pada bagian dalam (Wahyono, 1999:
29).
Aktivitas penambangan emas secara intensif diperkirakan berlangsung
sejak awal Masehi dan berkembang pada masa Sriwijaya. Jauh sebelum
berdirinya Sriwijaya, di Sumatera telah terbentuk jaringan komunikasi
dan kegiatan lalu lintas, tukar menukar informasi dan bahan pangan
dengan frekuensi tinggi (Miksic, 1984: 20). Tingginya aktivitas tukar
menukar ini dilatarbelakangi juga oleh emas.
Pada masa Sriwijaya, emas mempunyai peranan penting bagi
keberlangsungan kerajaan. Sebagai kerajaan bercorak maritim yang
mengutamakan sektor perdagangan, emas merupakan komoditi penting
bernilai tinggi. Pada masa itu emas menjadi sumber devisa utama yang
harus dijaga keamanan distribusinya dari musuh-musuh raja dan para datu
yang ingin menguasainya. Prasasti Telaga Batu memuat informasi tentang
sikap keras penguasa Sriwijaya dalam menangani emas dan harta kekayaan
lain kerajaan (Rangkuti, 1994: 165). Berdasarkan beberapa prasasti yang
pernah ditemukan dapat diketahui bahwa kekuasaan Sriwijaya terbentang
meliputi Palembang, Bangka, pedalaman Jambi, dan Lampung. Wilayah
kekuasaan Sriwijaya ini dikenal sebagai daerah sumber emas.
Pada masa sesudah Sriwijaya eksplorasi emas masih berlanjut. Tome
Pires mengunjungi Sumatera pada sekitar tahun 1512 – 1515 mendapati
beberapa kerajaan dan daerah yang banyak memperdagangkan emas. Kerajaan
tersebut misalnya Aru, Indragiri, Tungkal, Jambi, Sekampung, dan
Tulangbawang (Cortesao, 1967: 146 – 159). William Marsden yang
berkunjung ke Minangkabau pada 1771 – 1779 melaporkan tentang adanya
aktivitas penambangan emas. Manuel Godinho de Erada yang datang di
Sumatera pada 1807 menyaksikan pendulangan emas di Sungai Sunetrat
(Sungai Dareh). Dengan mengayak pasir sungai emas sebesar biji-bijian
atau sisik ikan bisa didapatkan (Sartono, 1984: 5; Utomo, 1994: 224).
Eksplorasi emas di daerah Lampung tampaknya berlangsung terus hingga
masa sesudah Sriwijaya. Situs Ratu Balaw sebagai situs pemukiman,
berdasarkan artefak keramik yang ditemukan diperkirakan berasal dari
sekitar abad ke-9 hingga ke-17. Artefak lain yang ditemukan berupa
artefak batu banyak tersebar di seluruh area situs. Pada artefak
tersebut terdapat jejak-jejak aktivitas penghancuran. Berdasarkan data
tersebut dapat diduga bahwa situs Ratu Balaw merupakan pemukiman
penambang emas.
Cerita Sejarah Keratuan Balaw
Di dalam Kuntara Raja Niti, yaitu kitab hukum adat Lampung yang
diperkirakan merupakan peninggalan zaman kekuasaan Majapahit di Lampung,
disebutkan bahwa di Lampung pernah berdiri lima keratuan yaitu Keratuan
Pugung, Keratuan Pemanggilan, Keratuan Dipuncak, Keratuan Balaw, dan
Keratuan Darah Putih (Hadikusuma, 1989: 4 – 7). Keratuan Balaw, menurut
keterangan Khaldin Balaw (80 th) salah seorang keturunan Ratu Balaw,
berdiri sejak sebelum Islam masuk di Lampung, yaitu pada masa Kerajaan
Sriwijaya, Tulangbawang, dan Sekala Berak.
Keratuan Balaw didirikan oleh Radin Kunyayan dan istrinya yang
bernama Putri Kuning. Radin Kunyayan merupakan keturunan Keratuan Pugung
Sekala Berak dari daerah Ranau. Radin Kunyayan setelah mendirikan
keratuan, bergelar Ratu Sai Ngaji Saka. Keratuan Balaw mula-mula berada
di daerah Krui pada ujung muara Way Balaw Krui. Pada suatu ketika
kemudian pindah ke muara Way Balaw yang sekarang termasuk di dalam
wilayah Tiyuh Kedamaian (Djubiantono, 2004: 8).
Tradisi lisan mengenai Keratuan Balaw sebagaimana catatan Marwansyah
Warganegara berbeda dengan keterangan Khaldin Balaw. Menurut catatan
Marwansyah Warganegara (1994: 15 – 16), bersamaan dengan masuknya Islam
ke Lampung ada tiga orang dari Kerajaan Pajajaran yaitu Ratu Alangkara,
Ratu Mungkuk, dan Ratu Jangkung datang di Lampung. Kedatangan mereka
dalam rangka mengejar anak gadisnya yang dilarikan orang Lampung. Kata
“mengejar” dalam bahasa Lampung adalah bualaw. Anak gadis yang mereka
cari tidak ditemukannya. Karena di Pajajaran sudah beralih ke Islam,
mereka tidak mau kembali ke Pajajaran tetapi menetap di sekitar Way Awi,
Telukbetung. Mereka mendirikan keratuan yang tetap beragama Hindu. Oleh
orang Lampung keratuannya disebut Keratuan Balaw.
Tradisi lisan masyarakat keturunan Keratuan Pugung Sekala Berak juga
menyebut keberadaan Keratuan Balaw. Di dalam silsilah mengenai keturunan
Bujang Ringkeh disebutkan bahwa Bujang Ringkeh Gelar Karai Handak
mempunyai empat anak yaitu Raja Sucungkup Alam, Pangeran Raja Mas Unang
Dalom, Sang Nata, dan Putri Bungsu Ratu Liba Haji. Pangeran Raja Mas
Unang Dalom mempunyai tiga anak yaitu Penyabungan, Putri Dewi, dan
Pangeran Nata Diraja. Putri Dewi dikenal juga dengan nama Sangun Kuning
atau Putri Kuning. Radin Kunyayan kemudian menikah dengan Putri Kuning.
Setelah menikah kemudian mendirikan Keratuan Balaw (Tim Penelitian,
2006: 15). Dalam tradisi lisan ini, yang disebutkan keturunan Keratuan
Pugung adalah Putri Kuning. Radin Kunyayan mungkin juga merupakan
keturunan Keratuan Pugung namun bukan berasal dari garis Bujang Ringkeh.
Keterangan Khaldin Balaw (Djubiantono, 2004: 8 – 10) selanjutnya
menyatakan bahwa selain Radin Kunyayan juga dikenal beberapa pemimpin
pengganti Radin Kunyayan yaitu Ratu Mungkuk, Ratu Jang Kuna, Ratu
Pujaran, dan Ratu Lengkara. Ratu Lengkara berkuasa pada sekitar abad
ke-16. Suatu ketika Ratu Lengkara diajak Raja Banten berkunjung ke
Tumasik (Singapura). Pada saat itu di Keratuan Balaw terjadi kekacauan
yang diakibatkan oleh beberapa putra ratu dari daerah lain untuk
memperebutkan putri Ratu Lengkara. Akibat dari peristiwa itu putri Ratu
Lengkara dipersunting oleh putra ratu dari Selagai, Lampung Utara dan
Minak Patih Pejurit dari Tulang Bawang. Setelah kekacauan tersebut,
beberapa keturunan Ratu Balaw berpencar. Ratu Wira Saka (Rulung
Balak/Gedung) mendirikan kampung di Way Sulan. Ratu Minangsi mendirikan
kampung di Way Handak (Kalianda, Binting Penengahan), Rulung Ketibung
bermukim di Tanjungan (Lampung Selatan), dan Rulung Balaw bermukim di
Way Kunang.
Pada sekitar abad ke-18 terjadi perpindahan lagi. Keturunan Ratu Wira
Saka di Way Sulan pindah ke Tanjung Iman, keturunan Rulung Ketibung
mendirikan pemukiman di Tanjung Agung, dan keturunan Rulung Balaw
menetap di Tanjung Hening. Pada tahun 1870 atas prakarsa Pangeran Raja
Saka, salah satu keturunan Ratu Balaw, keturunan tersebut bersatu
mendirikan perkampungan di Tiyuh Kedamaian.
Peristiwa Balaw tidak hanya diceritakan oleh masyarakat keturunan
Keratuan Balaw. Tradisi lisan masyarakat Tulangbawang juga mengisahkan
peristiwa Balaw. Pada masa Kesultanan Banten dipimpin oleh Sultan
Abdulkadir (1596 – 1651), Minak Kemala Bumi dan Minak Paduka menghadap
Sultan Banten untuk menyatakan kedaulatan di bawah Banten (siba). Oleh
Sultan Banten, Minak Kemala Bumi diperintahkan untuk mengislamkan Balaw.
Pada tahun 1645 Minak Kemala Bumi dibantu klan Abung dan Sungkai
menyerang Balaw. Ratu Pujajaran, Ratu Mungkuk, Ratu Jangkung, dan
Sangguroh dapat dikalahkan selanjutnya Balaw dapat diislamkan. Puteri
Kunang kemudian diperisteri oleh Minak Tumenggung Aji Kagungan, Puteri
Balaw diperisteri oleh Minak Kemala Bumi, dan Puteri Kembang Dadar
diperisteri oleh Dalom Paksi Buay Menyata Tanjungan (Warganegara, 1975:
13 – 14; Akip, 1976). Minak Kemala Bumi kemudian bergelar Patih Pejurit.
Perkawinan antara Minak Patih Pejurit juga diceritakan oleh tradisi
orang Abung. Ketika terjadi perselisihan antar keratuan di Lampung,
Minak Paduka, Minak Kemala Bumi, dan seorang kepala lainnya pergi ke
Banten menemui Hasanuddin. Mereka mempersembahkan pengakuan kekuasaan
tertinggi dan pemerintahan atas Tulang Bawang. Hasanuddin tidak bersedia
selama di Lampung masih ada Raja Balaw. Ketiga penguasa Lampung
tersebut kembali ke Lampung dan mengatur siasat akhirnya menyepakati
perjanjian bahwa salah seorang putri Balaw dikawinkan dengan Minak
Kemala Bumi.
Ketika ada kesempatan baik mereka membunuh Raja Balaw dan
mempersembahkan isteri, anak-anak, dan kekayaan Raja Balaw kepada Sunan
di Banten. Oleh Sunan Hasanuddin atau yang juga disebut Sunan
Sabakingkin, Minak Paduka diberi gelar Patih Jarumbang dan Minak Kemala
Bumi diberi gelar Patih Pejurit. Putri Balaw yang diperistri Minak
Kemala Bumi atau Patih Pejurit diambil isteri oleh Sunan Sabakingkin.
Tetapi tidak lama kemudian dikembalikan lagi kepada Minak Patih Pejurit
(Djajadiningrat, 1983: 130). Peristiwa Balaw dalam tradisi Tulangbawang
berbeda dengan tradisi Abung. Tradisi Tulangbawang menyebutkan peristiwa
terjadi pada masa Sultan Abdulkadir (1596 – 1651) sedangkan tradisi
Abung menyebut terjadinya peristiwa pada masa Hasanuddin (1552 – 1580).
Proses pindahnya Ratu Balaw menjadi Islam juga terdapat sedikit
perbedaan antara tradisi Lampung (Abung dan Tulangbawang) dengan Sajarah
Banten. Menurut Sajarah Banten, Ratu Balaw adalah salah seorang
penguasa di Lampung yang dengan sukarela masuk Islam. Setelah masuk
Islam turut serta membantu Banten dalam rangka menyerang Pakuwan
Pajajaran yang masih Hindu (Djajadiningrat, 1983: 130 – 131). Islamisasi
Ratu Balaw tidak melalui cara kekerasan tetapi secara sukarela.
Kondisi Lingkungan dan Ragam Tinggalan
Situs Ratu Balaw (Djubiantono, 2004: 13 – 15) secara administratif
termasuk di dalam wilayah Kampung Kedamaian, Kecamatan Tanjung Karang
Timur, Kota Bandar Lampung. Secara geografis lokasi situs merupakan
ujung pebukitan yang berada dekat pedataran rendah pantai Teluk Lampung.
Pada ujung pebukitan terdapat dua aliran sungai yang kemudian menyatu
dan bermuara di laut. Lokasi situs berada di antara dua aliran sungai
yaitu Way (Sungai) Balaw dan Way Awi atau Way Kedamaian. Way Balaw
mengalir di sebelah utara hingga timur situs dan Way Awi mengalir
disebelah barat hingga selatan situs. Kedua sungai ini kemudian menyatu
di sebelah tenggara situs membentuk aliran Way Lunik. Di sebelah
baratlaut situs terdapat Gunung Camang dan di sebelah timur situs
terdapat Gunung Pemancar.
Lokasi situs dapat dicapai melalui Dusun Keramat Balaw, kemudian
melalui jalan setapak yang menuju ke arah selatan berjarak sekitar 100 m
akan sampai di bagian selatan situs. Di lokasi ini pada sebelah kanan
jalan setapak terdapat makam Ratu Mungkuk sedang di sebelah kiri jalan
setapak terdapat aliran Way Balaw. Ratu Mungkuk adalah salah satu
pemimpin Keratuan Balaw. Menurut keterangan kerabat Keratuan Balaw, Ratu
Mungkuk meninggal akibat peperangan dengan musuh yang masuk lokasi
Keratuan Balaw. Keadaan makam Ratu Mungkuk dikelilingi pagar hidup
(tanaman) yang dilengkapi pagar bambu. Makam tidak dilengkapi jirat
tetapi terdapat tumpukan batu yang disusun membentuk denah empat persegi
panjang agak oval. Lokasi ini berada pada posisi 05°25’29,5” LS dan
105°17’48,1” BT. Di sebelah timur makam Ratu Mungkuk, pada tepi Way
Balaw terdapat pohon bambu duri (aur duri) yang dipercaya sebagai
sisa-sisa benteng pertahanan Keratuan di Balaw.
Di sebelah selatan lokasi makam Ratu Mungkuk, tanah genting yang
diapit Way Balaw dan Way Awi. Masyarakat menyebut bagian ini dengan
istilah galah tanoh. Di sebelah timur laut galah tanoh terdapat lahan
datar yang luasnya sekitar 16 hektar. Lahan ini merupakan bagian inti
situs Keratuan Balaw. Secara alami, lahan dibatasi dua aliran sungai
bertebing curam. Salah satu bagian landai terdapat di bagian timur laut
lahan pada aliran Way Balaw.
Di bagian timur lahan, tepatnya pada posisi 05°25’39,7” LS dan
105°17’63,2” BT, terdapat petilasan Ratu Lengkara. Kondisi petilasan
berupa susunan batu, pecahan keramik, tembikar, dan artefak lainnya
membentuk pola persegi panjang agak oval. Petilasan tersebut dilengkapi
cungkup tidak berdinding dengan atap seng yang merupakan bangunan baru.
Ratu Lengkara adalah salah satu penguasa Keratuan Balaw. Dalam tradisi
lisan masyarakat disebutkan bahwa pada suatu ketika Ratu Lengkara diajak
Raja Banten mengunjungi Tumasik (Singapura). Sekembalinya dari Tumasik,
kondisi Keratuan Balaw porak-poranda. Ratu Lengkara kemudian berpesan
kepada pengikut-pengikutnya apabila anak cucu ingin mengenangnya maka di
sinilah tempatnya. Ratu Lengkara berpesan sambil menghentakkan kaki
pada batu. Sesudah berpesan kemudian menghilang. Pada batu tersebut
kemudian terdapat tanda tapak kaki, batu itu sekarang sudah hilang.
Di situs Keratuan Balaw terdapat beberapa tinggalan arkeologis yang
ditemukan secara tersebar. Beberapa benda arkeologis yang ditemukan
antara lain berupa fragmen tembikar, keramik, manik, mata uang kepeng,
artefak batu, artefak logam, dan kerak besi. Selain sebaran artefak, di
lokasi ini juga dijumpai adanya tiga batu besar dari jenis andesitik.
Mengenai batu tersebut belum dapat diduga apakah merupakan dolmen atau
tinggalan arkeologis lain karena belum ditemukan ciri kuat. Selain
ketiga batu tersebut di sebelah selatan situs terdapat batu berbentuk
panjang dalam keadaan roboh.
Artefak khas dan signifikan yang ditemukan di situs Keratuan Balaw
adalah jenis artefak batu berupa pipisan, batu besar dengan salah satu
permukaan datar dan halus, serta batu berbentuk kotak. Pipisan banyak
ditemukan berupa pecahan, terkumpul di petilasan Ratu Lengkara. Bentuk
secara utuh merupakan pipisan berkaki, penampang bagian dataran
penghalus berbentuk segi empat memanjang. Pada salah satu sisi lebar
berbentuk melengkung, bagian sisi lebar lainnya rata. Secara utuh
berukuran kira-kira panjang 30 cm, lebar 15 cm, tinggi 15 cm.
Berdasarkan jejak pemakaian yang terdapat pada dataran penghalus
menunjukkan dengan cara digilas. Di petilasan Ratu Lengkara juga
terdapat bongkah batu berbentuk tidak beraturan dengan salah satu
permukaannya halus. Beberapa bongkah batu semacam ini juga ditemukan di
lahan situs bagian tenggara. Batu berbentuk kotak memanjang ditemukan
tersebar di seluruh lahan situs. Pada seluruh permukaannya halus akibat
aktivitas gesekan. Ukuran masing-masing benda tidak sama yaitu panjang
antara 3 cm hingga 10 cm, lebar antara 2 cm hingga 5 cm, dan tebal
antara 1 cm hingga 2 cm. Artefak batu tersebut kebanyakan dari bahan
batuan beku volkanik.
Batu berbentuk kotak memanjang yang ditemukan di situs Ratu Balaw (dok. Balar Bdg)
Penambangan Emas di Keratuan Balaw
Emas sudah dikenal manusia sejak lama, yaitu sejak zaman prasejarah,
Hindu-Buddha, Islam, zaman kolonial Belanda dan Jepang, hingga sekarang.
Pada zaman prasejarah artefak emas misalnya berbentuk kedok atau
penutup mata yang ditemukan pada situs kubur. Pada uraian beberapa
prasasti dari masa klasik, emas sering disebutkan untuk pasek-pasek
dalam upacara penetapan sima. Pada zaman Islam hingga kolonial, emas
cenderung untuk fungsi profan. Logam berwarna kuning ini berlambang Au,
bernomor atom 79, mempunyai berat jenis18,88 hingga 19,4 gram/cm3
(Wahyono, 1999: 26). Emas merupakan salah satu mineral termasuk dalam
klasifikasi bahan galian logam subbagian logam mulia. Mineral emas yang
penting adalah emas murni, Calaverite, Sylvanit, Krennerite, dan
Petzite. Hampir semua mineral emas mengandung perak. Semakin besar
kandungan peraknya maka kilapnya lebih putih. Mineral emas terdapat
dalam jebakan-jebakan dengan bermacam-macam tipe di dalam batuan beku,
sedimen, dan metamorf pada seluruh formasi geologi (Intan, 1993: 357 –
358). Berdasarkan lingkungan pengendapannya emas dibedakan antara emas
primer dan emas sekunder atau emas plaser. Emas primer terdapat pada
lingkungan pengendapan di mana mineral tersebut terbentuk. Sedangkan
emas plaser merupakan mineral emas yang berasal dari batuan yang
elevasinya tinggi. Akibat proses pelapukan dan kikisan, mineral tersebut
terbawa atau hanyut oleh aliran air hujan ke tempat yang lebih rendah
kemudian terkumpul di suatu dataran (Sartono, 1984: 4). Proses lainnya
bisa terjadi pada aliran sungai yang memotong lapisan urat bumi
mengandung emas. Bijih emas tersebut kemudian terbawa arus dan
terendapkan pada kelokan sungai yang arusnya melemah (Intan, 1993: 365).
Proses demikian akan menyebabkan terkumpulnya emas di tempat yang datar
sehingga penambangan dapat dilakukan secara sederhana dengan cara
pendulangan. Proses penambangan emas primer dilakukan dengan cara lebih
sukar dan rumit yaitu dengan membuat terowongan, sumuran, penggalian,
saluran air, serta berbagai bendungan. Batuan yang mengandung mineral
emas kemudian dihancurkan dengan menggunakan lumpang batu (Sartono,
1984: 4).
Lumpang batu untuk menghancurkan batuan yang mengandung mineral emas.
Koleksi Museum Geologi Bandung (Dok. Nanang Saptono)
Penambangan emas di situs Ratu Balaw dapat dimungkinkan karena
kondisi geologi daerah Telukbetung dikuasai oleh persesaran dan batuan
beku yang berhubungan dengan subduction (lajur penujaman), khususnya
batuan gunungapi andesit Tersier dan sejumlah besar granitoid
alkalin-kapur. Oleh sebab itu daerah tersebut secara geologis sangat
prospektif untuk pemineralan emas epitermal dan yang berhubungan
terobosan batuan beku. Emas dilaporkan terdapat di Ranggal (sebelah
timur Tanjungkarang) di dalam batuan terkersikan dan terpropilitkan.
Peta geologi yang disusun oleh Zwierzycki (1931) menunjukkan bahwa
urat-urat bijih emas telah ditemukan dan ditambang oleh Lampung
Exploration Company. Urat-urat tersebut terdapat di dalam batuan
gunungapi yang terbreksikan dan terubah secara hydrothermal seperti yang
terdapat dalam Formasi Tarahan. Menurut Widoro (1988) pembentukan
mineral emas tersebut terjadi di dalam batuan metamorfosa
(ubahan/malihan) yang terubah kuat di sekeliling stock dasit kecil
subvulkanik. Emas primer terdapat juga di dalam urat-urat batuan
gunungapi alkalin-kapur dari Formasi Hulusimpang yang terubah secara
hydrothermal dan tersingkap di daerah Kampung Babakan Loa, Kecamatan
Kedongdong, Lampung Selatan.
Peta topografi lokasi situs Ratu Balaw
Artefak batu yang ditemukan di situs Ratu Balaw berupa bongkah batu
dengan salah satu permukaannya halus, batu pipisan, dan batu berbentuk
kotak memanjang dalam jumlah banyak mungkin merupakan sisa aktivitas
penambangan emas. Beberapa bongkah batu yang salah satu permukaannya
halus merupakan sisa peralatan untuk menghancurkan batuan yang
mengandung bijih emas. Batuan yang sudah dihancurkan selanjutnya
dihaluskan menggunakan batu pipisan dan batu berbentuk kotak memanjang.
Batuan yang sudah dihaluskan kemudian baru didulang. Teknik penambangan
demikian ini menunjukkan bahwa emas yang ditambang di situs Ratu Balaw
merupakan emas primer. Kemungkinan lain yaitu bijih emas yang terdapat
pada aliran Way Balaw atau Way Awi langsung didulang. Dengan demikian
emas yang ditambang merupakan emas plaser.
Simpulan
Kawasan Sumatera merupakan penghasil emas yang sudah dikenal hingga
kawasan Asia sejak zaman Sriwijaya. Wilayah kekuasaan Sriwijaya hingga
Lampung berkaitan dengan adanya emas di wilayah itu. Keratuan Balaw yang
berdiri sejak zaman Sriwijaya mungkin ada kaitannya pula dengan emas.
Berdasarkan ragam tinggalan artefak batu yang ditemukan di situs Ratu
Balaw serta kondisi geologis kawasan tersebut, dapat diajukan hipotesis
bahwa situs Ratu Balaw merupakan pemukiman penambang emas. Emas yang
ditambang berupa emas primer dan emas sekunder (plaser).
Daftar Pustaka
Akip, H. Assa’ih. 1976. Kerajaan Tulangbawang Lampung Sebelum dan Sesudah Islam. Telukbetung: Tanpa nama penerbit.
Coedes, G. 1968. The Indianized States of Southeast Asia. Edited by
Walter F. Vella, translated by Susan Brown Cowing. Kuala
Lumpur/Singapore: University of Malaya Press.
Cortesão, Armando. 1967. The Suma Oriental of Tomé Pires. Nendelnd iechtenstein: Kraus Reprin Limited.
Djajadiningrat, Hoesein. 1983. Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. Jakarta: Penerbit Djambatan, KITLV.
Djubiantono, Tony et all. 2004. Laporan Survei, Pemetaan dan
Penggalian Arkeologi di Kawasan Situs Keratuan Balaw, Dusun Keramat
Balaw, Kelurahan Kedamaian, Bandar Lampung, Tahap I. Pemerintah Propinsi
Lampung, Asdep Urusan Arkeologi Nasional, Balai Arkeologi Bandung.
Hadikusuma, Hilman. 1989. Masyarakat dan Adat Budaya Lampung. Bandung: Mandar Maju.
Intan, Fadhlan S. 1993. “Tinjauan Geologi Pembentukan Mineral Emas”.
Dalam Proceedings Analisis Hasil Penelitian Arkeologi IV: Metalurgi
Dalam Arkeologi, hlm. 355 – 368. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Meulen, WJ van der. 1988. Indonesia di Ambang Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Miksic, John N. 1984. “Penganalisaan Wilayah dan Pertumbuhan
Kebudayaan Tinggi di Sumatra Selatan”. Dalam Berkala Arkeologi V (1)
Maret 1984. Balai Arkeologi Yogyakarta. Hlm. 9 – 24.
Rangkuti, Nurhadi. 1994. “Emas dan Tanah: Kasus Pengelolaan
Sumber-sumber Ekonomi di Sumatera dan Jawa Abad VII – X M (Kajian
Prasasti Sriwijaya dan Mataram Kuna)”. Dalam Evaluasi Data dan
Interpretasi Baru Sejarah Indonesia Kuna. Berkala Arkeologi Tahun XIV.
Edisi Khusus, hlm. 163 – 169.Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.
Sartono, S. 1984. “Emas di Sumatera Kala Purba”. Dalam Amerta 8, hlm. 1 – 16. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Sumadio, Bambang (ed.). 1990. “Zaman Kuna”. Dalam Marwati Djoened
Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia 2.
Jakarta: Balai Pustaka.
Tim Penelitian. 2006. Laporan Penelitian Awal Situs-situs Keratuan di
Propinsi Lampung. Dinas Pendidikan Nasional Propinsi Lampung – Balai
Arkeologi Bandung.
Utomo, Bambang Budi. 1994. “Suwarnadwipa Abad XIII – XIV Masehi:
Penguasaan Atas Sumber Emas di Hulu Batanghari (Sumatera Barat)”. Dalam
Evaluasi Data dan Interpretasi Baru Sejarah Indonesia Kuna. Berkala
Arkeologi Tahun XIV. Edisi Khusus, hlm. 221 – 226. Yogyakarta: Balai
Arkeologi Yogyakarta.
Wahyono, Martowikrido. 1999. “The Gold of the Archipilago”. Dalam
Indonesian Gold Treasures from the National Museum Jakarta, hlm. 26 –
33. South Brisbane Queensland: Queensland Art Gallery.
Warganegara, Marwansyah. 1975. Masyarakat dan Adat Budaya Tulang Bawang. (naskah tidak diterbitkan).
——. 1994. Riwayat Orang Lampung. (naskah tidak diterbitkan).
Widoro, A.A. 1989. Laporan Kegiatan Penyelidikan KP
164-165-212-215-216 Kabupaten Lampung Selatan, Propinsi Lampung.
Confidential Report. Paragon Group, Jakarta.
Zwierzycki, J. 1931. Geologische kart van Sumatera, schaal 1 :
200.000. Toelichting bijn blad 1 (Teloekbetoeng). Dienst van de Mijnbouw
Nederlandsch Indie.
Catatan:
Makalah ini dimuat di buku “Bhakta Astiti”. Editor: Dr. Agus Aris
Munandar. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia – Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata. 2007.
sumber:
http://arkeologilampung.blogspot.com/2008/04/situs-ratu-balaw-sebagai-permukiman.html?m=1